17 April 2013

Ujian (Tidak) Nasional

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2012/2013 sungguh kacau balau. UN di 11 provinsi terpaksa ditunda. Amburadulnya UN tahun ini disebabkan distribusi naskah soal yang terlambat. Beberapa soal juga tertukar sehingga ribuan peserta UN, tak bisa menjalani ujian. FYI, 11 Provinsi itu adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, NTT dan NTB. Kejadian ini seakan-akan seperti menabur garam di atas luka, memperparah, mengingat penyelenggaraan UN tahun-tahun sebelumnya juga dipenuhi kejadian-kejadian yang tidak seharusnya terjadi, semacam menyontek, kebocoran soal, kecurangan terkait kunci jawaban dan lain sebagainya.

Parah, saya lebih suka menyebutnya Kementrian Pendidikan Nasional sedang sakit. Iya sakit. Saya yakin dengan seyakin-yakinnya orang-orang yang duduk di kursi kementrian ini dari menteri sampai bawah-bawahannya ada adalah orang-orang yang sangat kompeten, sayang mereka sepertinya terlalu pakem pada sistem, entahlah ini karena terlalu patuh pada sistem atau memang ada udang di balik batu. Mengingat sekarang ini sudah zamannya internet, password protected & cloud computing, tapi distribusi naskah UN masih konvensional (tender, cetak, packing, distribusi dan lain-lain). Mencurigakan bukan?

Ini adalah pertama kali sepanjang sejarah pelaksanaan UN terjadi pengunduran jadwal ujian. Ini tidak semestinya terjadi, saya ulangi, tidak semestinya terjadi, saya ulangi sekali lago, hal ini tidak semestinya terjadi apalagi di zaman sekarang dan tidak boleh terjadi lagi di waktu mendatang.

Persiapan yang tidak matang dinilai menjadi titik mula karut marut pelaksanaan UN 2013. Tak habis pikir, UN, yang merupakan agenda sakral Kementrian Pendidikan Nasional, dilakukan setahun sekali, yang menghabiskan dana luar biasa besar (untuk UN SMA/SMK sederajat saja menghabiskan anggaran 800 Miliar lebih) Lalu kenapa masalah distribusi soal bisa terjadi di 11 propinsi dengan anggran untuk pelaksanaan UN segedhe itu harusnya tidak ada permasalahan dalam penyelenggaraannya. Oh dear.

Oh dear M. Nuh. Anda punya waktu 12 bulan untuk mempersiapkan agenda besar rutin ini, 12 bulan adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mempersiapkan segalanya. Kemajuan teknologi juga sudah seharusnya membantu kita. Tapi apa yang terjadi, Kemdiknas lebih menyukai memakai cara konvensional, cara umum, cara yang menurut saya sudah ketinggalan zaman, dimana semua serba sentralistik, naskah dibuat di pusat, percetakan juga di pusat, distribusi juga serba pusat. Kondisi serupa bisa terus terjadi, bahkan dapat membuat UN gagal dilaksanakan.. Penyakit ini tidak akan berubah, kalau bukan kita yang mengubahnya.
Gagal merencanakan maka itu sama saja merencanakan kegagalan.
Saya menjadi curiga, kenapa Kemdiknas masih menggunakan metode konvensional yang semuanya serba terpusat. Saya pikir proyek penggandaan dan distribusi soal UN tiap tahun bukan proyek buat mencerdaskan anak-anak sekolah. Saya takut ini akan menjadi celah manis bagi para tikus berdasi negeri ini untuk mendapatkan proyek mendapatkan duit, fee, di DPR maupun kementerian. Mereka tak perlu belajar metode korupsinya lagi bayangkan bila proyek seperti ini diubah dengan memanfaatkan cloud computing misalnya mungkin celahnya tak bakal seluas saat menggunakan metode kolot tender tadi. Dari proses tender tidak adil. Karena pemenang tender adalah perusahaan-perusahaan yang menawarkan harga tinggi. Padahal ada beberapa perusahaan yang menawarkan harga rendah dan kapasitas baik tapi dikalahkan. Pemilihannya pun terkesan tidak transparan. Entahlah. Semoga saja hal tersebut tidak benar-benar terjadi.

Pengunduran jadwal UN di 11 propinsi ini  sudah jelas akan berdampak besar bagi psikologis para peserta ujian. Stress. Itu pasti. Bayangkan kita sebagai pelari yang sudah konsentrasi penuh mempersiapkan segalanya ketika akan Start tiba-tiba secara sepihak dan mendadak perlombaan dibatalkan. Hal ini dapat mengganggu psikologis pelari tersebut yang tidak lain adalah para siswa yang semula siap menghadapi UN, tetapi tiba-tiba batal dan diundur. Selain itu juga potensi bocornya soal juga kan lebih besar, dan besar kemungkinan siswa-siswa yang berada di 11 propinsi yang UN-nya diundur akan mendapat nilai yang lebih bagus, ketimbang yang diluar 11 propinsi tersebut. Pemerintah sudah seharusnya membuat soal baru untuk 11 propinsi tersebut. Tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya di lapangan, saya harap pemerintah masih fair menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara.
Ini lucu, bagaimana pemerintah bisa menyiapkan masa depan, menyiapkan Ujian Nasional saja amburadul.
Seandainya pemerintah mau memanfaatkan teknologi sebagaimana mestinya, misal cloud computing, proses pelaksanaan dari pembuatan soal di Pusat sampai pendistribusian akan menjadi sangat mudah. Masalah distribusi yang terjadi saat ini sangat mungkin tidak akan terjadi, karena kita akan mendistribusikan soal UN melalui, bahasa gampangnya, internet. Kemudian Departemen Pendidikan di setiap propinsi / daerah-lah yang bertanggung jawab dalam proses percetakan dan kemudian didistribusikan kepada setiap sekolah. Simple dan efisien bukan? Mungkin kalau memakai cloud computing, celah manis untuk dinikmatin oknum nakal bakal lebih sedikit. mikir lagi caranya korupsi gimana. Coba bayangkan bila menggunakan sistem pengadaan terpusat. Saya tahu mereka sendirilah yang dibikin ribet oleh hal yang seharusnya sederhana. Memalukannya lagi, mereka sampai  meminta bantuan kapal dan pesawat TNI untuk mengirim soal UN ke daerah-daerah. Entah kenapa Pemerintah masih mau saja menderita seperti ini. Mungkin ada urusan pribadi, urusan yang seharusnya tidak dilakuin oleh oknum-oknum di atas sana dibalik tender ini. Kenapa aku bilang begini, karena setahu saya BPK pernah menobatkan Depdiknas sebagai lembaga negara terkorup nomer tiga pada tahun 2008-2010. Mungkin saja semua itu masih berlangsung, sampai sekarang, entah sampai kapan. Sudah saatnya KPK turun tangan.

Imagine, sebagai orang awam seperti saya, mungkin ini imajinasi goblog saya, bagaimana sebuah surat kabar nasional yang berkantor di Jakarta misalnya, bisa mendistribusikan hariannya ke seluruh pelosok negeri dalam waktu hitungan jam saja, ditambah lagi mereka melakukan ini setiap hari, jelas persiapan sangat mepet, bandingkan dengan Depdiknas dengan UN sebagai agenda sakral, agenda penting, berlangsungnya tahunan pula, sudah jelas waktu yang tersedia adalah sangat sangat lama. 360 hari, lalu kenapa masih saja terlambat?  Kalau UN diadain setiap minggu wajar kalau terjadi keterlambatan distribusi soal. Aneh, punya waktu setahun masih saja ada yang belum dapat soal kalaupun dapat ada yang tertukar soalnya. Busyet deh, kayak sinetron aja. Makin aneh lagi 11 propinsi yang diundur pelaksanaan UN-nya terletak di Indonesia bagian tengah, bukan di ujung Sabang atau Merauke sana. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kalau sudah begini kan aneh rasanya kalau kita masih menyebutnya Ujian Nasional dimana ujian tidak dilaksanakan serempak seluruh nusantara tak ubahnya seperti ujian biasa. Kesakralan UN terusik dan ini adalah raport merah dari departemen yang sudah disuplai oleh 20% anggaran negara dari ketidaksiapan, ketidaksungguhannya dalam menyelenggarakan UN. Semoga Pemerintah khususnya Departemen Pendidikan belajar dari kejadian ini dan cukup sekali ini saja pengunduran jadwal pelaksanaan UN dan tidak terjadi lagi di masa-masa mendatang.
Apabila anak-anak yang belum siap, dibilang kemalasan dan apabila pemerintah yang belum  siap, adanya alasan.