10 Februari 2012

Sebungkus Rokok Untuk Naik Haji

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا
"Mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS. Ali Imran: 97)

Selama ini saya sering mendengar bahwa ibadah haji diwajibkan bagi yang mampu, mampu dalam hal perbekalan dan kendaraan (transportasi). Melihat syarat haji, ini banyak diantara kita akan minder dan mengatakan bahwa dirinya tidak cukup mampu, tidak cukup bekal biaya untuk mencapai tanah suci. Sungguh terlalu naif, bila kita menjawabnya demikian, mengingat kita setiap hari menghamburkan uang untuk keperluan yang sebenarnya tidak kita butuhkan atau bahkan membahayakan diri kita sendiri, contohnya tidak lain dan tidak bukan adalah kemampuan bangsa ini untuk menghabiskan isi dompetnya hanya untuk sebungkus rokok. 

Hal tersebut bisa terlihat dari jumlah perokok di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Secara keseluruhan, Indonesia menempati peringkat lima di dunia sebagai jumlah perokok terbanyak. Berdasarkan data riset di Kementerian Kesehatan, sebelum tahun 1995 prevalensi remaja terhadap rokok hanya tujuh persen. Pada 2010 naik menjadi 19 persen. 54,1 persen orang di atas usia 15 tahun merokok dan 43,3 persen dari jumlah keseluruhan perokok mulai merokok pada rentang usia 14-19 tahun. Angka ini menurut perkiraan saya setidaknya ada 65 juta orang yang merokok setiap hari. Oya jangan lupakan bahwa rata-rata dari mereka ini minimal satu bungkus rokok per hari. Hitung sendiri berapa jumlah uang yang "dibakar" oleh 65 juta orang itu. Angka itu jelas jumlah yang besar, bahkan yang lebih mengerikan lagi ketika melihat pendapatan perkapita negeri ini, mengingat lebih dari 22% pendapatan orang miskin digunakan buat membeli rokok. OMG! 

Terlepas dari mampu tidaknya untuk membiayai haji, sebenarnya keinginan umat Islam di Indonesia agar dapat menunaikan ibadah haji di Baitullah sangatlah besar. Tetapi terkadang pemikiran mereka terlalu instan. Padahal jika diniatkan dengan rencana jangka panjang, sebetulnya bisa saja kita menunaikan ibadah haji, sehingga dalih “saya tidak mampu” tersebut terpatahkan. Karena sebenarnya dengan sebungkus rokok kita juga bisa memesan tiket ke sana. 

Anggaplah ongkos naik haji di Indonesia adalah sebesar 35 juta. Dan anggaplah lagi kita tidak membeli atau tidak merokok 1 bungkus saja sehari, dengan hal ini berarti kita telah menabung sekitar Rp. 10.000 atau sekitar Rp.300.000,- sebulan atau sekitar Rp. 3.600.000,- setahun maka dalam waktu kurang lebih 10 tahun kita bisa berangkat menunaikan ibadah nan mulia ini, haji. Sebenarnya bukan hal yang sulit bagi kita, bagi bangsa ini, untuk memesan tiket haji meski pendapatan perkapita negeri ini tidak bisa diharapkan. Cuma terkadang kita malas, malas berencana, malas menabung. 

Kali ini, saya ingin mengajak mereka, para perokok aktif untuk menyisihkan uang sebungkus rokoknya dan kemudian ditabungkan, bukan tidak mungkin perokok Indonesia yang jumlahnya 65 juta itu dalam dua dekade kedepan sudah bisa menyandang gelar haji. Dengan mengurangi satu bungkus rokok perhari maka niscaya masalah kesehatan negeri ini yang disebabkan barang makruh ini akan segera berkurang dan bukan tidak mungkin apabila sebungkus rokok itu bisa mengantarkan para perokok itu ke tanah suci. Mengantarkan menuju doa ini (InsyaAllah).... 
Labbaika Allahumma labbaika.
Labbaika la syarika laka labbaika.
Innal hamda wanni’mata laka wal mulka.
laa syarika laka.

Baca Selanjutnya...

4 Februari 2012

Pacarku itu...

Pacarku itu...
belum pernah nyakitin hati
belum pernah nyentuh yang bukan hak
belum pernah ninggalin ibadahnya 
dan... belum ketemu keberadaannya...

Pacarku itu...
ngga suka bohong
 nggak suka keluar malam
ngga boros duit
nggak doyan selingkuh
nggak pelit 
dan..... nggak ada.. 
Baca Selanjutnya...

2 Februari 2012

Galaunya Buruh Tidak Realistis

Buruh adalah tulang punggung berdirinya sebuah industri. saya akui buruh punya peran besar untuk memajukan perekonomian negeri ini. Tapi sayang, buruh di Indonesia sekarang kebanyakan galau dengan masalah gajinya. Ini jelas akan mengganggu stabilitas perekonomian. Why? Ketika buruh galau semua akan jadi korban.mulai jalanan macet karena jalanan diblokir total oleh aksi para buruh, produksi yang seharusnya dihasilkan suatu industri pun jelas akan turun drastis. Lihat saja ketika mereka unjuk rasa dan berhasil menguasai sebuah tol di Jakarta, berapa besar kerugian yang timbul? 

Dan terakhir di Jombang, Para buruh kembali galau, kembali menuntut UMR yang menurut mereka masih terlalu rendah. Tuntutan mereka sungguh liar, UMR sebesar Rp. 1.500.000!! Well, ini sudah terlampau besar, walau saya akui mereka membutuhkannya tapi ini sangat tidak realiatis. Mengingat kondisi perekonomian di Indonesia yang masih acak kadut seperti sekarang ini. Dan apabila kenaikan ini terwujud, sudah bisa dipastikan para pengusaha akan mikir 1000 kali, untuk terus menjalankan industri, sangat mungkin mereka akan mengambil kebijakan untuk melangsingkan jumlah karyawannya. Dan ujung-ujungnya buruh pun kembali akan dipaksa gigit jari, karena sebagian mereka akan diberhentikan dari pekerjaannya.

Seharusnya mereka jauh lebih dewasa berpikir ke depan dalam mengambil suatu aksi. Lihatlah teman-teman kita dari profesi lain, yang jadi guru misalnya. Gaji guru misalnya, berapa sih gaji guru di Indonesia,  masih jauh dari kata pantas. Namun lihatlah semangatnya, mereka jarang mengeluhkan gaji mereka dan terus mengabdi. Selain itu, saya ambil contoh gaji seorang Apoteker di apotek, banyak sebagian dari mereka gajinya tak mencapai angka satu juta, padahal resiko pekerjaannya dan perannya kepada masyarakat sangat berat. Namun tak pernah mengadakan aksi sampai memacetkan jalan tol. Apabila dibandingkan dengan profesi buruh, profesi apoteker lebih selektif, untuk jadi seorang apoteker mereka harus lulus kuliah Farmasi, saya merasakan betapa susah kuliah dan banyaknya biaya yang dihabiskan selama kuliah tetapi ketika kerja hanya digaji sekecil itu?. Sangat miris sekali. 

Andai para buruh mau melihat lingkungan sekitarnya, banyak profesi lain yang lebih beresiko, jauh lebih membutuhkan balasan berupa penghargaan seperti guru dan apoteker atau bahkan kuli panggul di pelabuhan yang bekerja jauh jauh lebih berat misalnya, mungkin mereka akan "malu" akan egoisnya mereka dalam menuntut gaji. Apakah mereka tidak berpikir apabila mereka terus menurus menodong pengusaha untuk menaikkan gaji buruh, si pengusaha bakal memPHK sebagian besar dari mereka untuk menyeimbangkan neraca? Dan menurut pemikiranku ini menimbulkan akan efek yang lebih besar. Jumlah pengangguran akan membekak, jumlah lapangan pekerjaan turun karena mungkin saja pengusaha akan lebih mengoptimalkan kemajuan teknologi untuk  penggunaan tenaga kerja selain itu investor asing akan enggan untuk menanam saham di Indonesia. Dari analisis singkat ini, sudah seharusnya buruh dengan dewasa mengerti kondisi perekonomian negeri ini. tidak hanya tuntat-tuntut aja, harus ada saling keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan buruh.  Masalah gak bakal selesai.

Apakah realitis ketika buruh meminta gaji 1,5 juta disaat profesi lain yang mungkin lebih tinggi kompetensi dan tanggung jawabnya seperti apoteker hanya digaji separuhnya? 

Namun di balik ketidakrasionalan tuntutan para buruh itu, saya selalu berdesak kagum melihat solidaritas para buruh, walau mereka hanya berprofesi buruh namun persatuan dalam memperjuangkan hak mereka sangat kuat, sesuatu harus dicontoh oleh organisasi profesi lain di negeri ini. Bila dibandingkan, ini sangat berbeda dengan profesi-profesi lain, seperti apoteker misalnya, walau saya belum sepenuhnya menjadi apoteker tapi saya sedikit banyak mengetahui terkadang ada yang tidak beres, tidak perlu disebutkan apa bentuknya itu.

Semoga dunia keprofesian di Indonesia semakin dewasa dan tak ada lagi masalah (kegalauan) lagi.
Baca Selanjutnya...

1 Februari 2012

Kenapa Kau Beri Janji Palsu Padaku?

Ini kisahku, kisah tentang aparat kita, tentang janji aparat kita.. Apapun yang akan saya ceritakan disini semuanya hanya untuk sharing pengalaman, tak ada maksud untuk merendahkan nama oknum polisi di negeri ini... 

Pagi itu, mendung tapi tak menyurutkan niatku untuk memperpanjang SIM, sebenarnya niatku yang besar ini diakibatkan tilang sehari sebelumnya, bawa motor dengan SIM yang sudah expired. :p

Jujur, awalnya bingung, karena tidak tahu apa syarat-syaratnya, harus bayar berapa, dan tempatnya dimana (untuk alasan ketiga, mohon dimaklumi karena kantor Polres di kota kecil ini memang sudah jauh berubah dari 5 tahun yang lalu saat saya pertama kali nggawe SIM). Oleh karena itu, ketika sampai di Polres, saya putuskan untuk ke pusat Informasi terlebih dahulu.

Di sana awalnya saya bertanya dimana lokasi tempat perpanjangan SIM, dan dengan menyakinkan Polisi yang lagi berjaga disana menjawabnya disini tempatnya. Heran, bukannya ini tempat informasi ya? saya tanya kembali untuk menyakinkan tetapi malah dijawab dengan nada menggertak: "Iya disini tempatnya! mana syarat-syaratnya!?!" Mengenai syarat perpanjangan SIM, dan ternyata syarat yang kubawa dari rumah (Fotocopy KTP dan SIM lama) masih kurang dimana saya belum melakukan test kesehatan. Dan karena  malas ke dokter, jadi saya bertanya: "apakah masih bisa bila tanpa kartu keterangan sehat dokter??  dan kembali dijawab, "sudah bayarnya tambah saja 50ribu! Jadi 250 ribu totalnya" (biaya perpanjangan SIM 200rb) | Lho, bayarnya disini pak? bukannya dulu di Bank ya? .... (*berusaha menolak*) | Udah sini mana duitnya! (*dengan nada arogan*). Dan mau gak mau karena saya selalu badmood menghadapi polisi model begini dan akhirnya kuserahin aja uangnya dan kemudian diantar ke suatu bagian di dalam gedung Polres untuk menemui orang entah itu siapa yang kemudian mengeluarkan berkas-berkas dan polisi inilah yang menuliskannya segalanya di berkas itu dari nama sampai berat badanku, dan disela-sela pintu, saya melihat diluar ruangan itu dari sela-sela pintu, didalam hati saya bergumam, Oh shit, ternyata ini tempatnya pendaftarannya, lalu kenapa saya dibawa kesini? Saya terjebak didalam jeratan mafia calo!!  

Karena sudah terlanjur terjerat dan sudah terlanjur memberikan uangnya, saya putuskan untuk mengikuti saja prosedurnya calo ini, itung-itung buat pengalaman nantinya. Setelah selesai mengisi berkasnya, saya diantar menuju ruang sidik jari. sayasemakin merasa berbeda disini, disaat yang lain antri bayar antri ambil formulir dan ngisi formulir, saya semuanya beres bahkan dituliskan sampai segala dan tinggal menuju ruang sidik jari, foto (dari semua prosedur tadi kecuali di ruang foto diantar) dan akhirnya SIM C baru pun telah jadi.

Plong juga rasanya namun ada satu hal yang membuatku miris, di saat antri di ruang foto, saya melihat poster besar, bertuliskan, "KAMI BERJIHAD MELAWAN KKN" dan sebenernya masih banyak tulisan-tulisan serupa di dalam gedung ini yang berniat menyakinkan masyarakat bahwa sudah tidak adalagi KKN, pungli dan calo di tubuh Polri. Di detik saya selesai membaca tulisan-tulisan itu, saya langsung bergumam ah itu semua bullshit, abal-abal, pepesan kosong, atau apalah itu, nyatanya saya masih jadi korban, walau mungkin bayarnya sama dengan prosedur biasa, tetapi uangku yang harusnya masuk ke kas Polisi tadi sudah saya pastikan masuk ke kantong oknum polisi yang mengurusi pembuatan SIMku tadi. Mengenai syarat surat keterangan dokter-ku yang tidak ada, ternyata masih bisa ditebus dengan uang tambahan. Bukankah itu pungli?? Melegalkan kesalahan demi uang? 

Pengalamanku ini, semoga menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa Polisi tidak selamanya yang kita harapkan, seperti oknum polisi yang ada di Posko Informasi tadi, yang harusnya menunjukan tempat dimana tempat pembuatan SIM, malah terkesan menawarkan diri untuk jadi calo dan dengan bersikap arogan. Kejadian ini menjadikanku semakin badmood apabila ketemu polisi, citra polisi yang sudah terlanjur jelek di mataku menjadi semakin kelam, Poster di sepanjang lorong gedung bahwa Polisi berjanji melayani masyarakat, tapi nyatanya? Itu semua tak lebih sekedar janji palsu.
Baca Selanjutnya...