Sudah berkali-kali negeri ini ditimpa bencana yang tiada hentinya, bahkan silih berganti. Ratusan ribu orang
jadi korban dan menyebabkan
kerugian negara dengan jumlah
yang bisa dikatakan "tak
terhitung".
Frustasi. Satu kata yang bisa
menggambarkan perasaanku
melihat kenyataan ini. Betapa
Tidak, ditengah kondisi
tersendatnya pembangunan
karena negara sedang dilanda
masalah moneter, bencana
silih berganti menghancurkan
jerih payah kita, dan
akhirnya kita kembali ke
titik nol lagi untuk memulai
semuanya dari awal kembali.
Frustasi inilah yang selalu
kurasakan tiap bencana hadir
"bertamu" di negara ini,
hingga akhirnya bencana
meletusnya gunung Merapi
beberapa waktu lalu
menyadarkanku akan kebesaran
ALLAH, bahwa setiap musibah
pasti ada hikmahnya.
Aku sadar ini bukanlah
saatnya kita meratapi semua
musibah ini karena itu semua
tidak ada gunanya sama
sekali, ibarat nasi sudah
jadi bubur, apa hendak
diperbuat untuk
mengembalikannya menjadi
nasi, tidak bisa, tapi
alangkah baiknya apabila kita
mengelola bubur tersebut agar
bisa kita makan, dibuat bubur
ayam atau apapun yang penting
bisa disantap tanpa
mengurangi rasa. Begitulah
ketika bencana terjadi,
jangan frustasi, tapi
sebaiknya kita melakukan
menajemen pasca bencana
dengan baik untuk
menyelamatkan para korban dan
membantu meringankan beban
mereka, sebagaimana
pengalamanku saat menjadi
relawan di Stadion
Maguwoharjo, ada ratusan ribu
pengungsi disana yang
membutuhkan uluran tangan
kita. Mereka sama sekali
tidak membutuhkan rasa
frustasi atau keputusasaan
kita. Jadi tak ada gunanya
kita berputus asa terhadap
musibah yang datang.
Dan sungguh apa yang yang terjadi di
lapangan memberikanku banyak
pelajaran hidup, mulai dari
banyaknya relawan yang
berkerja keras demi
keselamatan dan kebutuhan
para pengungsi tanpa
mengharap balas budi,
"gerakan nasi bungkus" yang
dilakukan oleh para ibu di
Yogyakarta dan sekitarnya
yang berhasil membuat ratusan
ribu nasi bungkus dalam 3hari
sungguh angka yang fantastis
bukan? hingga presiden kita
pun sempat makan siang dengan
nasi bungkus bersama para
pengungsi (aku terharu
melihat ini, sungguh bencana
telah mendekatkan semua pihak
yang sebelumnya mungkin
mustahil untuk dipikirkan di
pikiran kita) hingga aksi
para pengamen yang melakukan
pengumpulan sumbangan di
kereta api sampai terkumpul
uang 5 juta dalam beberapa
jam saja, serta masih banyak
peristiwa lain yang kulihat
selama bencana merapi
terjadi. Semua begitu ikhlas dengan spirit yang sepertinya tiada habisnya untuk membantu sesama.
Semua hal ini yang
menyadarkanku, bahwa
kemakmuran, kekayaandan
kemenangan bukanlah saat kita
berhasil membangun negara
yang kuat, bukanlah dengan
membangun banyak gedung
pencakar langit, dan bukanlah
saat negara berhasil mencapai
prestasi terbaiknya, bahkan
bukan saat kita berhasil
memperoleh semua yang kita
inginkan dalam hidup ini.
Tetapi justru kemenangan ini
kita peroleh saat kita kita
dapat menghadapi masalah
(bencana), saat kita bersama-sama dapat mengatasi
musibah yang terjadi, Saat kita mampu
bangkit dari keterpurukan,
saat dimana kita berada dalam
kondisi yang sangat sulit
tetapi kita mampu bangkit
kembali dan kemenangan
terbesar adalah saat kita
mempunyai rasa solidaritas
yang kuat tanpa memandang
siapa kita dan siapa
"mereka".
Bencana bukan saatnya kita
meratapi, frustasi inilah
saatnya kita dapat belajar
dari ini semua, karena
dibalik semua ini pasti ada
sebuah cahaya cerah
menghampiri kita, cahaya
hikmah, cahaya yang akan
menuntun kita menuju
kehidupan baru yang lebih
baik untuk kita dan untuk
sesama.
Yogyakarta pasti akan
kembali, kembali bangkit,
karena kota ini begitu
istimewa. Jogja pasti
kembali. Terima kasih atas
segala pelajaran berharga
ini.
Semoga Allah membalas semua amal para relawan yang telah berjuang untuk sesama dan semoga Allah senantiasa melindungi kita dari segala bencana.