29 April 2010

Berapa Harga Nafas Kita??

Bernafas, mungkin sudah dianggap biasa dan tak lagi menarik dibahas oleh sebagian orang. Pasalnya, sejak bangun tidur sampai terlelap, manusia tak lepas dari kegiatan mengambil udara di alam bebas ini. Namun, pernahkah Anda memperhatikan bagaimana nikmat Allah ini sebenarnya bernilai miliaran rupiah? Tak perlu menghitung kegiatan bernafas secara keseluruhan yang melibatkan berbagai organ tubuh, cukup kiranya menjumlah rupiah dari setiap udara yang dihirup.

Sekali bernafas, umumnya manusia memerlukan 0,5 liter udara. Bila perorang bernafas 20 kali setiap menitnya, berarti udara yang dibutuhkan sebanyak 10 liter. Dalam sehari, setiap orang memerlukan 14.400 liter udara.

Lalu, berapa nilai tersebut bila dirupiahkan? Sebagaimana diketahui, udara yang dihirup manusia terdiri dari beragam gas semisal oksigen dan nitrogen. Keduanya, berturut-turut 20% dan 79% mengisi udara yang ada di sekitar manusia. Bila perbandingan oksigen dan nitrogen dalam udara yang manusia hirup sama, maka setiap kali bernafas manusia membutuhkan oksigen sebanyak 100 ml dan 395 ml lainnya berupa nitrogen. Artinya, dalam sehari manusia menghirup 2880 liter oksigen dan 11.376 liter nitrogen.

Jika harga oksigen yang dijual saat ini adalah Rp 25.000 per liter dan biaya nitrogen per liternya Rp 9.950 (harga nitrogen $ 2.75 per 2,83 liter, data nilai tukar dollar Bank Indonesia pada 9 November 2009), maka setiap harinya manusia menghirup udara yang sekurang-kurangnya setara dengan Rp 176.652.165. Dengan kata lain, bila manusia diminta membayar sejumlah udara yang dihirup berarti setiap bulannya harus menyediakan uang sebesar 5,3 Miliar rupiah. Dalam setahun, manusia dapat menghabiskan dana 63,6 Miliar.

Itu hanya jumlah uang yang diperlukan dalam setahun. Bila dihitung seluruh kebutuhan seumur hidup, pastilah nilainya lebih mencengangkan lagi. Sungguh, Allah maha pemurah atas segala karunia-Nya. Tak terkecuali nikmat Allah dari udara yang digunakan manusia sebagai bahan bernafas setiap saatnya.

Udara yang melimpah ruah di alam adalah bukti kasih sayang Allah yang luar biasa. Sekumpulan gas tersebut diberikan Allah kepada manusia dengan cuma-cuma. Tak sepeser pun dipungut dari manusia atas nikmat yang amat penting tersebut. Oleh karenanya, sudah sepantasnyalah manusia bersyukur kepada Sang Pencipta. Dia-lah Rabb yang mengurus kita di siang dan di malam hari sebagaimana firman Allah,“katakanlah: ‘Siapakah yang dapat memelihara kamu di waktu malam dan siang hari selain (Allah) Yang Maha Pemurah?’…”(QS Al Anbiyaa’ 21: 42).
Baca Selanjutnya...

21 April 2010

Kartini Bukanlah Pahlawan Emansipasi

Tangal 21 April bagi wanita Indonesia, adalah hari yang khusus untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi sayangnya, peringatan tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau bersanggul, lomba masak dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi perempuan). Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan April karena Kartini dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita.

Terlepas dari keterlibatan RA. Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia, emansipasi sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di barat. Pada abad ke-19, muncul benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women’s Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita).

Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak serta menghendaki adanya kemandirian dan kebebasan bagi perempuan. Pada tahun 1960, isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik (rumah tangga) merupakan hal yang tidak produktif. Kemunculan isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty Freidan berjudul The Feminine Mystiquue (1963).

Freidan mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide virus peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh masyarakat dan ‘getol’ diperjuangkan oleh orang-orang feminis.

Gencarnya kampanye feminisme tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat AS pada saat itu, tetapi juga di seluruh dunia. Munculnya tokoh-tokoh feminisme di negeri-negeri Islam seperti Fatima Mernissi (Maroko), Nafis Sadik (Pakistan), Taslima Nasreen (Bangladesh), Amina Wadud (Malaysia), Mazharul Haq Khan serta beberapa tokoh dari Indonesia seperti Wardah Hafidz dan Myra Diarsi kemudian beberapa gerakan perempuan penganjur feminisme, seperti Yayasan Kalyanamitra, Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas Perempuan dan sebagainya, setidaknya menjadi bukti bahwa gerakan inipun cukup laku di dunia Islam. Bahkan tak hanya dari kalangan wanita, dari kalangan pria juga mendukung gerakan ini seperti Asghar Ali Engineer, Didin Syafruddin, dan lain-lain.

Dalam perjuangannya, orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Hal ini dilakukan baik secara terang-terangan maupun ‘malu-malu’. Tuduhan-tuduhan ‘miring’ yang sering dilontarkan antara lain bahwa hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti ketaatan istri terhadap suami, poligami juga dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan menimbulkan potensi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Sementara itu peran domestik perempuan yang menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap sebagai peran rendahan. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup aurat dengan memakai jilbab (Q.S Al-Ahzab:59) dan kerudung (Q.S An-Nur:31) dianggap mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan. Lalu benarkah R.A Kartini dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi, sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis?

Andai Kartini Masih Hidup

Dalam buku Kartini yang fenomenal berjudul Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang, R.A Kartini saat itu menuliskan kegelisahan hatinya menyaksikan wanita Jawa yang terkungkung adat sedemikian rupa. Tujuan utama beliau menginginkan hak pendidikan untuk kaum wanita sama dengan laki-laki, tidak lebih. Ia begitu prihatin dengan budaya adat yang mengungkung kebebasan wanita untuk menuntut ilmu.

Kartini memiliki cita-cita yang luhur pada saat itu, yaitu mengubah masyarakat, khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan, juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya. Ini sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902, yang isinya, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Menurut Kartini, ilmu yang diperoleh para wanita melalui pendidikan ini sebagai bekal mendidik anak-anak kelak agar menjadi generasi berkualitas. Bukankah anak yang dibesarkan dari ibu yang berpendidikan akan sangat berbeda kualitasnya dengan mereka yang dibesarkan secara asal?. Inilah yang berusaha diperjuangkan Kartini saat itu.

Dalam buku tersebut Kartini adalah sosok yang berani menentang adat-istiadat yang kuat di lingkungannya. Dia menganggap setiap manusia sederajat sehingga tidak seharusnya adat-istiadat membedakan berdasarkan asal-usul keturunannya. Memang, pada awalnya Kartini begitu mengagungkan kehidupan liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana di Jawa. Namun, setelah sedikit mengenal Islam.

Pemikiran Kartini pun berubah, yakni ingin menjadikan Islam sebagai landasan dalam pemikirannya. Kita dapat menyimak pada komentar kartini ketika bertanya pada gurunya, Kyai Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat Semarang, sebagai berikut:
Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa? bukankah al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”.

Demikian juga dalam surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902 yang isinya memuat, “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”

Selain itu Kartini mengkritik peradaban masyarakat Eropa dan menyebutnya sebagai kehidupan yang tidak layak disebut sebagai peradaban, bahkan ia sangat membenci Barat. Hal ini diindikasikan dari surat Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang isinya berbunyi, “Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?”

Selanjutnya di tahun-tahun terakhir sebelum wafat ia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergolak di dalam pemikirannya. Ia mencoba mendalami ajaran yang dianutnya, yaitu Islam. Pada saat Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya dan mengkaji isi Al-Qur’an melalui terjemahan bahasa Jawa, Kartini terinspirasi dengan firman Allah SWT (yang artinya), “…mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) (QS al-Baqarah [2]: 257),” yang diistilahkan Armyn Pane dalam tulisannya dengan, “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Demikianlah, Kartini adalah sosok yang mengajak setiap perempuan memegang teguh ajaran agamanya dan meninggalkan ide kebebasan yang menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Beberapa surat Kartini di atas setidaknya menunjukan bahwa Kartini berjuang dalam kerangka mengubah keadaan perempuan pada saat itu agar dapat mendapatkan haknya, di antaranya menuntut pendidikan dan pengajaran untuk kaum perempuan yang juga merupakan kewajibannya dalam Islam, bukan berjuang menuntut kesetaraan (emansipasi) antara perempuan dan pria sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis.

Kini jelas apa yang diperjuangkan aktivis jender dengan mendorong perempuan meraih kebebasan dan meninggalkan rumah tangganya bukanlah perjuangan Kartini. Sejarah Kartini telah disalahgunakan sesuai dengan kepentingan mereka. Kaum Muslim telah dijauhkan dari Islam dengan dalih kebebasan, keadilan dan kesetaraan jender.

Refleksi perjuangan Kartini saat ini sangat disayangkan karena banyak disalah artikan oleh wanita-wanita Indonesia dan telah dimanfaatkan oleh pejuang-pejuang feminisme untuk menipu para wanita, agar mereka beranggapan bahwa perjuangan feminisme memiliki akar di negerinya sendiri, yaitu perjuangan Kartini. Mereka berusaha menyaingi laki-laki dalam berbagai hal, yang kadangkala sampai di luar batas kodrat sebagai wanita. Tanpa disadari, wanita-wanita Indonesia telah diarahkan kepada perjuangan feminisme dengan membawa ide-ide sistem kapitalisme yang pada akhirnya merendahkan, menghinakan derajat wanita itu sendiri.

Sistem kapitalisme sejatinya telah menghancurkan kehidupan manusia, termasuk kaum hawa (perempuan). Akibat diterapkan sistem kapitalisme terjadi himpitan ekonomi sehingga tidak sedikit perempuan lebih rela meninggalkan suami dan anaknya untuk menjadi TKW, misalnya, meskipun nyawa taruhannya. Ribuan kasus kekerasan terhadap mereka terjadi. Mereka disiksa oleh majikan hingga pulang dalam keadaan cacat badan, bahkan di antaranya ada yang akhirnya menemui ajal di negeri orang. Sebagaimana yang dialami derita seorang TKW asal Palu, Susanti (24 tahun), yang kini tak bisa lagi berjalan karena disiksa majikannya (Liputan6.com, 9/3/2010).

Maraknya perdagangan perempuan dan anak-anak (trafficking) pun terjadi. Pada Desember 2009 ditemukan 1.300 kasus perdagangan manusia dan pengiriman tenaga kerja ilegal dari Nusa Tenggara Timur (Vivanews.com, 15/12/2009). Sekitar 10.484 wanita yang berada di Kota Tasikmalaya Jawa Barat rawan dijadikan korban trafficking.

Pasalnya, mayoritas di antara mereka berstatus janda serta berasal dari kalangan yang rawan sosial dengan taraf ekonomi rendah (Seputar-indonesia.com, 1/4/2010). Di Kabupaten Cianjur Jawa Barat kasus trafficking dan KDRT tercatat 548 kasus. Tidak sedikit dari mereka menjadi korban dan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersil (PSK) (Pikiranrakyat.com, 23/3/2010). Fakta-fakta tersebut setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa sistem kapitalisme telah gagal dalam memuliakan wanita.

Habis Gelap Terbitlah Islam

Upaya meneladani perjuangkan Kartini seharusnya bukanlah kembali pada ide-ide feminis dengan membawa ide kapitalisme yang absurd melainkan kembali pada sistem syariah Islam (ideologi Islam), yang dalam rentang masa kepemimpinannya selama 13 Abad mampu memposisikan wanita pada kedudukannya yang teramat mulia, maka wajar bila desas desus diskriminasi perempuan ketika diterapkan ideologi Islam tidak pernah terdengar.

Di muka bumi ini, baik laki-laki maupun perempuan diposisikan setara. Derajat mereka ditentukan bukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh iman dan amal shaleh masing-masing.

Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan seperti pakaian bagi perempuan, dan begitu pula sebaliknya. Namun dalam kehidupan rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran tersendiri dan tanggung-jawab berbeda, seperti lazimnya hubungan antar manusia.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah. laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Demikian firman Allah dalam al-Qur’an (Q.S al-Ahzab: 35).

Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan, bahwa sesungguhnya perempuan itu saudara laki-laki (an-nisâ’ syaqâ’iqu r-rijâl) (HR Abu Dâwud dan an-Nasâ’i).

Meskipun di kalangan Muslim pada kenyataannya masih selalu dijumpai diskriminasi terhadap perempuan, namun yang mesti dikoreksi adalah sistemnya, bukan agamanya. Di tanah kelahirannya sendiri, gerakan feminis dan kesetaraan gender masih belum bisa menghapuskan sama sekali berbagai bentuk pelecehan, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan.

Maka sekarang sudah saatnya baik laki-laki dan perempuan berjuang untuk mengganti sistem kapitalisme sekuler dengan sistem Islam yakni dengan menerapkan sistem syariah Islam secara kaffah dalam wadah khilafah Islamiyah sebagai wujud ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Karena hanya dengan sistem syariah Islam saja wanita dimuliakan. Karena itu saatnya habis gelap, terbitlah Islam dengan syariah dan khilafah.

By: Andi Perdana G
Baca Selanjutnya...

13 April 2010

Lebih Baik Kita Tertawa...

Orang mulai skeptis, tidak percaya pada siapapun baik itu sebagian besar partai politik, politisi-politisi, maupun lainnya. Mereka yang bicara laksana debur samudera, namun hidupnya dangkal dan mandeg, laksana rasa yang membusuk. Mereka lebih banyak disinari oleh kemilauan singgasana kekuasaan.

Pernah saya membaca suatu kutipan di suatu blog temenku "Salah satu kerinduan paling universal dalam zaman ini adalah kerinduan akan kepemimpinan yang memikat (compeling) dan kreatif. Para pemimpin raksasa telah melintas cakrawala budaya, politik dan intelektual kita. Sebagai pengikut, kita mencintai dan mengecam mereka. kita berbaris untuk mereka dan berperang melawan mereka. Kita mati demi mereka dan kita membunuh sebagian mereka. Kita tak dapat mengabaikan mereka”, karena itu, pemerintahan harus bisa membangun dirinya menjadi pemerintahan yang memikat hati rakyat dan kreatif melahirkan kebijakan populis.

Negeri ini telah begitu banyak melahirkan berjuta-juta wajah kemiskinan. Wajah kemiskinan yang bukan hanya sekadar pendapatan rendah. Namun juga wajah merefleksikan kondisi pendidikan, pelayanan publik dan kesehatan yang buruk, partisipasi budaya sangat rendah, akses informasi, ketidak mampuan menegakkan hak-hak asasi manusia.

Bahasa kesadaran kita tentang kekuasaan tak pernah terkait dengan kehendak mewujudkan keadilan. Tak ada yang bicara, berkuasa berarti pelayanan, sebaliknya berkuasa berarti minta pelayanan atau minta diagungkan. Kemorosotan kesadaran intelektual terlihat banyak para ahli berlomba-lomba mengemukakan pendapat, namun pendapat-pendapat itu justru membuat keadaan hidup semakin runyam dan sulit.

Panggung hukum hanya dipenuhi drama cerita kutil-mengutil  terjadi secara kontinuitas (episode per-episode). Hukum tak lebih hanya mengusut bayang-bayang si pelaku KKN. Seolah hidup tidak terasa indah tanpa dimahkotai dengan perhiasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) membuat manusia menjadi penjilat untuk bersedia menjual diri kepada kekuasaan tanpa moral - memperjual-belikan kepercayaan - hedonisme merajalela - budaya malu menghilang dari negeri ini, semua menjadi muka tembok. Negeri ini tak pernah sepi, selalu ramai dengan berita tentang seputar mafia. Mulai dari mafia pendidikan,  mafia tender, mafia narkoba sampai mafia hukum yang mencakup mafia kasus dan mafia peradilan. Banyak pihak terlibat disini, ya penegak hukum, jaksa, pengacara, penjahatnya.

Berkeliaran makelar-makelar kasus ("Markus") selalu menari-nari diatas penderitaan si-korban. Hebatnya lagi Markus ini mempunyai seribu wajah, ada markus gelar, markus pajak, markus hukum, bahkan ada markus politik dan sebagainya. Hilangnya, kepastian hukum, kemanfaatan dan perasaan keadilan masyarakat yang diselenggarakan organ-organ negara, menandai kondisi hukum yang disfungisonal. Para pemimpin yang kehilangan kemandirian akibat adanya keterkaitan transaksional dengan pihak pemilik modal alias cukong menjadi faktor penentu. Makelar  kasus yang terjadi di Indonesia, telah menyebabkan para penegak hukum bertekuk lutut, seperti benang basah yang tidak bisa berdiri. Kondisi itu, harus benar-benar dibersihkan, agar sistem peradilan kita berjalan dengan baik. Apakah bisa?

Apakah hal ini menandakan masyarakatnya lagi sedang sakit? Andaikata, memang demikian, wah! Celaka besar! Masyarakat dikatakan sakit apabila masyarakat hanya memiliki satu tujuan dalam kehidupannya. Artinya, segala segi kehidupannya hanya diarahkan kepada keberlangsungan serta peningkatan sistem yang telah ada (dalam hal ini adalah kapitalisme). Keberadaan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan mereka menjadi tersingkirkan dan tertindas. Dan situasi seperti ini menurut cerita seorang sahabat adalah negeri yang bergelombang secara ekstrim. Dimana perilaku kaum elite menjadi amat Machiavelistis, menghalalkan segala cara. Maka tepat, hal yang dikemukakan oleh Gus Dur bahwa bangsa kita adalah bangsa yang munafik ketika menanggapi perilaku politisi kita. Kahlil Gibran pernah mengatakan “Kemunafikan bakal terjadi selalu, sekalipun ujung jemarinya diwarnai dan dikilapkan; dan penipuan tak’kan jera menikamkan paku, kendati sentuhannya gemulai dan penuh kelembutan. Serta kepalsuan tiada akan pernah mengubah diri menjadi kebenaran, sekalipun kaudandani dengan busana sutera dan kau tempatkan dalam istana; keserakahan mustahil menjelma kepuasan batin; kejahatan tak mungkin berubah kebajikan. Sehinggga kita akan tertawa sendiri seperti orang seperempat miring!…aaahaha…ahahaha…aahahaha!!!

Baca Selanjutnya...

8 April 2010

Hari Gini Gak Setor Ke Kantong Ane, Apa Kata Temen Ane?

“Bermain air di kolam terpercik muka sendiri“ Itulah yang dialami Direktorat Jenderal Pajak dan Pemerintah hari-hari ini.

Semboyan ‘Hari Gini Ngga Bayar Pajak, Apa Kata Dunia’ yang terkesan ngeledek wajib pajak yang lalai itu kini meludahi muka mereka sendiri! Seakan sebagai lembaga yang yang bersih dan jujur menampung uang rakyat, Direktorat Jenderal Pajak gencar meneriakkan “Apa Kata Dunia” di berbagai media masa maupun bilboard. Terkesan kental mereka sebagai pihak yang tak bermasalah dalam persoalan penerimaan pajak atau rasio wajib pajak terhadap jumlah penduduk berpotensi wajib pajak. Sebaliknya tergiring opini seakan rakyatlah yang tidak mempunyai tanggung jawab membayar pajak bagi negeri yang telah memberi ‘banyak’ (?) bagi kehidupan mereka.

Tak perlu berkilah panjang lebar, dari dulu khalayak ramai tahu tak ada pegawai pajak yang miskin (hidup sewajarnya sesuai gaji PNS-nya).  Temen saya mengaku mengenal beberapa PNS Ditjen Pajak setingkat Gayus yang kekayaannya aduhai, padahal semasa kecil di desanya tak sepotong sawahpun dimiliki oleh orang tuanya. Tentu bukan monopoli Ditjen Pajak, fenomena diatas juga terjadi di instansi pemerintah lainnya yang tergolong basah.

Tak perlulah berkilah itu hanya ulah oknum jika sebuah kasus terbongkar, karena telah begitu banyak kasus dan  ’oknum’ selama ini. Bagi saya sebagai rakyat, jika ada penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki oleh sebuah instansi maka jelas ada yang salah di dalam instansi itu, paling tidak pada sistem pengawasan maupun para pengawasnya. Jadi? Ya! pimpinannya juga salah!

Dalam soal para Gayuser di Ditjen Pajak dan target penerimaan pajak hal pertama yang harus dibereskan adalah lembaga itu sebelum ngeledek para wajib pajak. Kini tentu semakin banyak rakyat yang semula telah curiga dan agak reluctant membayar pajak menjadi jengkel uang mereka ditilep para tikus laknat itu. Mereka yang semestinya mendapat pembelajaran kesadaran membayar pajak malah mendapat tontonan bagaimana uang yang mereka usahakan dari cucuran keringat diembat tikus got pegawai pajak. Benar-benar kontra produktif!

Imbauan Ditjen Pajak itu kini terdengar seperti “Hari Gini Gak Setor Ke Kantong Ane, Apa Kata Temen Ane?”

Sementara dunia telah memasuki era informasi berikut paradigma transparansi yang menuntut pengelolaan organisasi yang bersih (good governance), kita masih bergelimang dalam lumpur nista yang menertawakan klaim sebagai bangsa yang religius.

“Hari Gini Korupsi Pajak, Apa Kata Dunia?”
Baca Selanjutnya...