10 April 2013

Hakikat Cinta

"Mbak, taksi-ne wes teko ning ngarepan"

Terdengar suara perempuan dengan logat khasnya dari arah ruang tamu, itu suara Bi Rinah, pembantu di kos ini. Taksi inilah yang akan mengantarkan temanku, Citra, ke Adisucipto, bandara di kota pelajar ini. Ya dia akan pulang kampung, setelah menempuh masa studynya di kota ini. Temenku ini, lebih tepatnya aku sebut sebagai sahabat, kita dekat satu sama lain sejak awal kuliah di Jogja. Sebenarnya aku sudah menyiapkan kendaraan untuk mengantarnya namun dia ngotot nggak mau, dia memang begitu orangnya, ngga suka ngerepotin orang lain, termasuk aku, sahabatnya sekalipun.

Suara Bi Rinah yang sebenarnya kecil, khas ng itu cukup bisa membuat aku dan Citra terkejut, tersadar dari lamunan kita masing-masing. Entah pembicaraan apa yang habis kita bincangkan, aku lupa detailnya saat itu, yang jelas perpisahan ini, walau bukan untuk selamanya, tapi kehidupan yang membuat kita harus berpisah dengan kisahnya masing-masing, dia kembali ke kampungnya melanjutkan kisahnya dan aku juga akan segera pergi dari kota ini, iya pergi untuk kembali, kembali ke tanah kelahiran, dengan kisahku sendiri. Entah kapan lagi, kita bisa bertemu lagi, bukan masalah jarak, ini lebih ke masalah kesempatan, apakah kita masih mempunyai kesempatan bertemu? menghabiskan waktu, menentang kesepian? Sungguh sebenarnya aku tak mampu membayangkannya. Citra pun begitu, matanya begitu sembab, menahan tangis, meski ia mencoba tegar, tapi sejatinya kesedihannya tak bisa disembunyikan, ia terlalu berduka untuk menutupinya. Aku selama seminggu ini mencoba menghiburnya, namun sepertinya aku belum berhasil.

"Sudah waktunya kamu berangkat Citra," kataku pelan, "Kamu sudah siap? Ngga ada yang ketinggalan kan?"

"Hmmm iya, semua sudah siap, semua sudah ...... " Tiba-tiba tangisnya pecah, dia menangis sejadi-jadinya, menundukkan mukanya ke bawah kursi tampat dia duduk. 

"Tenang, Citra.. Sudah jangan menangis," sambil menepuk pundaknya, "memang berat, ketika kamu harus merelakan dan meninggalkan kenangan indahmu disini. Aku tahu. aku juga ngalamin hal tersebut. Aku juga akan pergi dari kota ini" 

Citra masih menangis dan terus menangis. 

"Sudahlah jangan menangis, bersyukurlah pada Tuhan, kita pernah dipertemukan di kota ini, diberi kesempatan untuk menjalin hubungan ini"

Setelah sedikit tenang, dia berdiri,
"Iya kawan, aku berangkat saja sekarang, semakin aku lama aku disini, tangisku akan semakin menjadi-jadi. Tapi kenapa kamu begitu tegar? Tidak adakah rasa sedih? Bukankah kau baru menyatakan rasa kamu padaku semalam, bahwa kamu suka padaku. Kamu nulis hal ini di blog bukan?"

Glek. Benar-benar seperti tersambar petir di siang bolong, mukaku merah. Astaga, ternyata dia membacanya. Dan sekarang, aku ngga tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskannya.

"Astaga, kamu membacanya?", kataku gugup, namun kemudian aku mencoba tersenyum, "Ya begitulah adanya perasaanku padamu saat ini, tapi tentu kamu juga telah membacanya bukan pesanku di tulisan itu, aku ngga bisa menjelaskan hal ini padamu saat ini, terlalu complicated, lagian taksi di luar sudah lama menunggu, mungkin suatu saat nanti kita bisa membicarakannya lebih intim lagi, semoga masih ada kesempatan untuk kita."

"Iya semoga aja, tapi kenapa kamu tak mencoba mengungkapkannya lebih awal? Kenapa sekarang kamu tidak terlihat sedih? Apa yang kamu tulis itu benar bukan?"  
Tanya Citra, dengan antusias, agaknya kesedihannya sedikit terkikis rasa penasarannya ini.

Aku kembali tersenyum, 
"Semuanya bukankah sudah aku ceritakan di blog, tentang alasan ini semua? Iya benar, aku suka padamu, aku ngga kelihatan sedih kah saat ini? Kamu ngga tahu, hatiku ini sedang menangis, tidakkah kau mendengarnya? Aku hanya mencoba tegar, aku pernah membaca buku, disana disebutkan inti hakikat dari sebuah cinta adalah melepaskan. Semakin sejati cinta kita maka kita akan semakin rela kita melepaskannya. Walau kita saat ini akan berpisah, percayalah kalau memang cinta ini sejati, ia pasti akan mempertemukanku denganmu nanti, tak peduli apapun hambatannya, ia akan membawa kembali diriku padamu dengan cara apapun bahkan dengan cara yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya, takdir Tuhan tak pernah salah alamat dan tiap hati sudah punya kuncinya sendiri, ngga usah khawatir" 

Citra tersenyum, dia sepertinya mengerti yang kumaksud, kebijaksanaan cinta, meski masih terlihat bersedih, sekarang dia sudah agak tenang, 
"Aku mengerti sekarang, akan aku pegang janjimu, saat kita bersua kembali suatu saat nanti, semoga belum terlambat ketika aku dipertemukan kembali denganmu, aku pamit ya, kasihan taksi diluar sudah terlalu lama menungguku, terima kasih ya, terima kasih atas semuanya, sampai jumpa lagi ya" 

"Iya, Citra, peganglah janji itu. Sampai jumpa, Hati-hati, jaga dirimu"

Kemudian dia menyalami tanganku erat-erat, tak pernah seerat ini sebelumnya ia menggenggam tanganku, sebelumnya, matanya tajam menatap mataku, seolah menegaskan bahwa ia sangat menanti pertemuan selanjutnya. Setelah itu ia melepaskan tanganku sambil tersenyum ia berkata, "Iya, akan ku jaga diriku untukmu", lalu masuk ke taksi, melambaikan tangan dan pergi meninggalkan diriku yang hatinya masih berserakan di kota ini, sendiri menyelamatkan hati.
"Ketika kamu mencintai seseorang, biarkanlah ia pergi kemana dia mau, karena jika ia cinta sejatimu, ia pasti akan kembali menjemput takdirnya, hidup bersamamu selamanya, sebenernya sesederhana itu cinta, hanya manusia yang biasanya membuatnya rumit"