Hey hey kau kawan terlihat cengeng ( gue kan anak gaul lagi…)
Dengernya pun lagu cengeng
Membuat otak dan mental seperti kaleng rombeng
Hatipun teng..teng..terenteng
Nontonnya sinetron telenovela
Isinya hanya cinta…cinta…cinta… Bupeng
Di atas adalah penggalan lirik lagu berjudul cinta pembodohan yang dinyanyikan oleh sebuah band punk bernama marjinal asal jakarta. Cukup sarkas terdengar memang lagu tersebut apalagi ketika dimainkan dengan gaya musik punk, semakin beringas saja tentunya. Tapi tunggu dulu… jangan langsung mencap ini band asal-asalan ataupun band-nya para preman.
Menyimak teks ataupun lirik di atas ternyata ada benarnya juga, artinya memang kalimat-kalimat yang terangkum dalam lirik tersebut boleh dibilang diambil dari kenyataan hidup sehari-hari remaja zaman sekarang. Kita lihat saja betapa banyak remaja di negeri ini yang gandrung nonton sinetron, bukankah semua stasiun televisi kini mayoritas dipenuhi dengan sinetron semua. Jadi itu membuktikan pula bahwa masyarakat kita memang gandrungnya bukan main sama sinetron, alasannya sederhana saja, stasiun televisi tidak mungkin menayangkan program acara yang tidak menarik masyarakat untuk menontonnya. Jadi jika melihat begitu banyaknya acara sinetron menghiasi layar kaca itu sama saja menggambarkan kalau masyarakat kita doyan sinetron.
Selain sinetron masyarakat kita juga tergila-gila dengan musik-musik pop. Kalau ini sudah jelas banyak buktinya. Masih ingat konser sheila on seven ataupun peterpan yang menimbulkan kejadian memilukan yaitu tewasnya beberapa remaja akibat berdesak-desakan. Hebat bukan mereka (sheila on seven, peter pan dan band-band pop lainnya ). Acara live musik dan tentunya yang main pun harus band-band pop, sudah pasti dipenuhi dengan remaja, ribuan jumlahnya bahkan ratusan ribu jika yang main band terkemuka. Belum lagi kini semua televisi dan radio setiap harinya dipenuhi dengan lagu-lagu pop, dan selain lagu-lagu bergenre pop paling hanya ada porsi beberapa persen saja.
Lantas adakah yang salah dengan fenomena nge-pop ataupun gandrung sinetron? Di sini tidak akan membahas masalah benar atau salahnya. Karena setiap permasalahan tidak harus selalu dilihat dengan hitam atau putih. Di sini sebatas menanggapi saja.
Kalau kita simak hampir setiap sinetron atau bahkan seluruhnya bercerita seputar percintaan dalam bentuknya pacaran, cinta segi tiga, ya pokoknya tidak jauh-jauh dari itu semua. Sepertinya para penulis naskah di negeri ini benar-benar miskin ide. Jarang muncul sinetron yang sedikit menentang arus. Tema-tema percintaan yang mendominasi sinetron tak pelak telah memberikan pengaruh besar bagi tingkah laku remaja bangsa ini. Dan parahnya lebih banyak sisi negatifnya daripada yang positif. Salah satunya adalah membuat remaja konsumtif..kalau ini sudah jelas menjadi tujuan utama dari stasiun televisi yang memutarnya. Stasiun televisi bisa terus beroperasi karena adanya dukungan dana, dan sumber dana terbesar yang diperoleh adalah dari pemasangan iklan. Dan seperti kita tahu semua iklan itu kan jualan? Semua iklan itu kan bujukan atau rayuan untuk membeli? Kecuali iklan layanan masyarakat kalau yang ini biasanya digunakan negara untuk membujuk rakyat supaya tidak protes terus alias untuk membodohi rakyat. Sebenarnya bedanya sangat tipis sekali antara iklan komersil dengan iklan layanan masyarakat. Iklan komersil maupun iklan layanan masyarakat sama-sama untuk membodohi hanya saja orientasi mereka beda yang satu duit yang satunya lagi tetap ada unsur duitnya tapi hanya tak begitu vulgar alias tidak “ blak-blakan “.
Berangkat dari sini sudah tentu para pemasang iklan enggan untuk memasang iklan di stasiun televisi yang acara-acarany kurang begitu diminati masyarakat. Para pemasang iklan lebih memilih memasang iklan di stasiun televisi yang menayangkan acara-acara yang menarik banyak mata masyarakat untuk menontonnya. Menarik perhatian penonton saja rupanya belum cukup bagi para pemasang iklan. Mereka menuntut supaya acara-acara yang ditayangkan pun juga turut serta dalam memicu hasrat penonton untuk konsumtif. Nah…tayangan-tayangan sinetron lah kemudian yang menjadi sasaran utamanya. Kita lihat saja sinetron saat ini banyak menayangkan adegan-adegan yang bersifat merayu penonton untuk konsumtif. Bukankah jarang sekali sinetron yang mengisahkan tentang kehidupan keluarga miskin, tentu saja jarang karena kalau keluarga miskin yang jadi latarnya apa yang mau dijadikan alat agar mata penonton terpesona dan menjadi konsumtif. Bukankah semua orang ingin kaya? Maka dipilihlah sinetron-sinetron dengan latar keluarga kaya karena dengan begitu mata penonton akan disuguhi dengan gambar-gambar yang memancing imajinasi dan khayalan mereka. Seperti nikmatnya menjadi orang kaya. Punya mobil mewah, istri cantik, rumah mewah, pembantu banyak dan segala kemewahan lainnya. Yang begini sudah tentu memancing penonton masyarakat untuk tergiur manjadi seperti apa yang ada di sinetron.
Apalagi sinetron remaja yang penuh dengan adegan-adegan glamour. Sekolah dengan mobil mewah, hape mahal, dan juga berbagai bentuk hedonisme lainnya. Remaja kitapun dibuat semakin gusar dan gelisah, mereka selalu berupaya bagaimana agar bisa mengidentifikasikan dirinya dengan artis-artis yang tampil di sinetron tersebut. Fenomena celana pensil, meluruskan rambut, dan berbagai virus lainnya yang hanya menjadikan generasi kita sebagai generasi poser belaka. Termasuk pula aktivitas pacaran yang kian merebak menyita waktu dan kehidupan remaja. Hingga akhirnya kemudian menjadi inspirasi bagi lirik lagu marjinal di atas. Cinta itu pembodohan menjadi relevan untuk disebut, lihat saja berapa banyak remaja yang mati gara-gara cinta bunuh diri gara-gara cinta, kemudian berapa banyak pula waktu tersita untuk memikirkan cinta, menangisi cinta dan meratapi cinta. Generasi muda kita didominasi oleh pemuda-pemuda cengeng jadinya, bagaimana nasib negeri ini kelak.
Dan rupanya bukan hanya sinetron saja yang berpartisipasi dalam pembodohan generasi muda. Lagu-lagu cinta jawabnya…betapa lagu-lagu cinta telah meninabobokkan pemuda-pemudi negeri ini. Mereka dengan khidmatnya menonton dan mendengarkan lagu-lagu semacam ini di radio dan televisi. Alasan mereka mendengarkan lagu cinta bisa lebih menambah semangat mereka dalam bercinta dan menghayati percintaan mereka dengan pacar. Pengaruh lainnya dari lagu-lagu cinta macam ini adalah perihal gaya berpakaian. Lihat saja betapa banyaknya remaja kita yang mengidentifikasikan penampilan mereka dengan gaya berpakaian yang dikenakan personil-personil band-band pop. Dan ini tentunya keuntungan besar pula bagi pabrikan pakaian. Wajar saja banyak pabrikan pakaian berlomba-lomba untuk mensponsori acara-acara musik ataupun sinetron dengan cara menyediakan kostum bagi para artis tersebut. Memprihatinkan memang, banyak dari pemuda negeri ini akhirnya hanya bisa menjadi penonton kalau tidak mau dibilang sebagai plagiator sejati ( peniru sejati ) jarang dari mereka yang berani menjadi diri sendiri karena terlalu banyak mengidentifikasikan dirinya dengan para artis idola. Bahkan banyak remaja kini tak lagi mengenali diri mereka sendiri terbukti dengan ucapan mereka semacam “ saya tidak punya kelebihan atau bakat apa-apa “ hingga akhirnya banyak pemuda yang sakit mental mereka tak berani mengaktualisasikan diri mereka sendiri. Mereka hanya bisa ikut-ikutan dan selalu berkompromi dengan kanyataan di sekitar mereka. Bisa dilihat dari gaya berpakaian yang seragam ( coba simak berapa banyak anak muda dengan celana pensil…), selera musik yang hampir sama ( siapa yang tak suka musik pop). Keseragaman ini bisa menjadi bukti betapa keringnya imajinasi dan kreatifitas generasi muda. Jarang sekarang anak muda yang berani melawan arus dan menjadi diri sendiri. Justru yang lebih aneh lagi adalah banyak dari mereka menjawab telah menjadi diri sendiri dengan mereka selalu meniru dan meniru tersebut. Mereka tak lagi sadar bahwa mereka sebenarnya telah melupakan diri sendiri dengan tak lagi mengenal minat, bakat serta segala potensi yang ada pada diri mereka sendiri.
Kemerdekaan yang sering diagung-agungkan selama ini ternyata hanya semu belaka. Karena sebenarnya kita masih dalam kondisi terjajah. Memang penjajahan tak lagi menampakkan diri dengan muka lamanya yaitu dalam bentuk kekerasan fisik. Penjajahan zaman sekarang lebih mengerikan lagi karena mental yang menjadi sasaran utamanya dan senjata yang digunakan pun bukan lagi bedil ataupun meriam, cukup dengan media massa seperti televisi, radio, koran, majalah dsb. Sanjata macam ini ternyata sangat efektif untuk menyerang mental masyarakat kita. Di mana kemudian masyarakat kita tertunduk lemas tak berdaya alias matinya kesadaran kritis, hingga akhirnya masyarakat pun selalu menyepakati nilai-nilai banal yang ditawarkan media. Contoh sederhananya adalah betapa anak muda sekarang bisa stress gara-gara jerawat yang muncul di wajah ataupun ketombe yang hinggap di rambut. Stressnya mereka adalah gara-gara propaganda media yang mangatakan bahwa jerawat itu memalukan, bisa merusak karir, pokoknya orang yang berjerawat diejek sedemikian rupa oleh media hingga kemudian perusahaan pembersih jerawat ataupun ketombe memanen untung besar karena semua remaja membeli produk-produk mereka. Masih banyak lagi sebenarnya propaganda sesat yang dilakukan oleh media massa kita.
Kondisi bangsa ini memang memprihatinkan dan tampaknya masih akan terus berkepanjangan kondisi seperti ini jika melihat kondisi generasi muda saat sekarang. Karena mau tak mau nantinya anak-anak muda ini akan memegang kendali atas bangsa ini. Masa depan ada di tangan pemuda, namun masa depan yang seperti apa itu tergantung apa yang dikerjakan anak muda sekarang. Bukankah masa kini adalah gambaran dari masa depan. Jika masa sekarang pemudanya hanya bisa bersolek, bercinta, dan segala remeh temeh lainnya apa kata dunia nanti?
By : Rihzan Fauzi