Stasiun televisi kita saat ini kebanjiran realty show. Ada yang impor macam The Apprentice, The Next American Top Model, Fear Factor dan lain-lain. Produk impor itu sebagian besar disadur menjadi versi Indonesianya, meski tak seheboh aslinya misal Joe Millionaire Indonesia, Fear Factor Indonesia atau The Apprentice Indonesia .
Produk (orisinil?) lokal yang nggak kalah seru adalah realty show yang bersifat sosial. Ada Uang Kaget, Rejeki Nomplok, Toloong!, Terima Kasih, Lunas, Bedah Rumah dan Sekolahku Sahabatku. Sebagian besar program acara tersebut dibidani oleh sang kreator Helmi Yahya. Kreatif memang beliau.
Tayangan tersebut cukup menyentuh emosional penonton, cukup bagus, menghibur dan "membumi". Ini jika dibandingkan dengan realty show yang kebarat-baratan abis dan cenderung melecehkan kaum hawa seperti Joe Millionaire.
Tayangan realty show yang memasang orang-orang miskin sebagai bintang utamanya itu tak jarang mampu menguras air mata pemirsa. Bagaimana ekspresi histeris seorang pedagang kaki lima misalnya, yang tiba-tibaآ mendapatkan uang 10 juta rupiah. Atau sebuah keluarga miskin yang rumahnya reyot tak kuasa menahan isak ketika didatangi tim bedah rumah. Bikin haru, sedih, trenyuh, dan akhirnya ikut gembira.
Kita berhusnuzhon, kehadiran orang-orang tak punya dalam tayangan tersebut, mudah-mudahan bukan diniatkan untuk mengekploitasi mereka. Lebih sebagai bentuk kepedulian stasiun teve (baca: sponsor) yang selama ini sarat dengan tayangan hura-hura. Mudah-mudahan memang diniatkan untuk mengangkat harkat dan martabat mereka yang kurang beruntung.
Pertanyaannya adalah: Mengapa kemiskinan diumbar untuk menarik simpati? Apakah ini jurus terjitu untuk menarik simpati masyarakat? Jika demikian, ini sungguh sangat disayangkan, karena potret kemiskinan dijadikan komoditi meraih popularitas dan propaganda untuk melanggengkan tujuannya. Kemiskinan seolah-olah dapat diselesaikan dengan cara instan, dengan mengikuti ajang atau kontes bakat. Yang menjadi kekuatiran ialah adanya budaya meniru, sehingga masyarakat berlomba-lomba untuk menjadi selebritis. Akan timbul anggapan di masyarakat, bahwa dengan menjadi populer, maka dalam waktu singkat dapat memperoleh penghasilan yang banyak.
Yang perlu dijaga adalah jangan sampai gara-gara tayangan tersebut masyarakat miskin kita (yang jumlahnya puluhan juta) akhirnya terbuai mimpi dan angan-angan. Kapan ya akan ketiban keberuntungan menjadi bintang televisi dadakan dalam realty show tersebut?. Mental seperti ini yang harus dijaga.
sumber: http://www.gaulislam.com/