15 Desember 2008

Pengemis dan Eksistensinya Menurut Islam

Sabtu Malam Minggu Kemarinn, seorang temenku, Heru datang ke kosku ngajak keluar jalan-jalan. mau beli sepatu katanya.. kebetulan malam itu asaya baru saja sampai di kos setelah rutinitas dan ikut rapat untuk pekan farmasi di kampus saya. Karena saya gak ada kerjaan saya mau aja diajak jalan ma dia.. dari pada malam minggu hanya bengong saaja di kos mending keluar...
Nah Karena saya baru sampe kosm tadi n belum makan sesuap nasi pun akhirnya saya ajak dia makan dulu di warung makan nasi goreng...hehehe maklum anak kos....
setelah samapi kami pesan NasGor 2 Porsi plus minum ala kadarnya...
Beberapa saat kemudian pesananan pun jadi...
Akhirnya Kami menikamatinya. . ALHAMDULILLA perut saya sudah tidak berteriak lagi....dah terisi sedikit demi sedikit... hehe
Tapi di tengah saya dan eman saya sedang menikmati Nasgor tadi tiba-tiba...

“Assalamu’alaikum…”

Seorang wanita tua berpakaian tunik two-pieces warna hijau tosca dengan jilbab kaus senada tengah berdiri di ambang pintu masuk. Beberapa pasang mata langsung beralih pada sosok tua itu, kemudian kembali menekuri aktivitasnya.

Kelihatannya seorang pengemis, batin saya saat itu. Sambil bergegas menghampirinya, saya tersenyum ramah padanya.

“Wa’alaikum salam… Kami serentak menjawabnya..

Dilihat dari dekat, penampilan ibu itu sungguh tidak terlihat seperti seorang pengemis. Dia berpakaian rapi, bersih, dan sopan. Sebuah tas tua mencangklong di pundaknya.

"Saya cuma mau minta uang untuk makan,” ujarnya tanpa ragu-ragu. Saya melongo sesaat.

“Saya belum makan, Ndhoro,” tambahnya

“ohh…” mulut saya membulat seutuhnya.

Secepatnya saya mulai mencari uang kecil untuk diberikan pada si pengemis tadi. Saya bermaksud memberinya selembar uang lima ribuan. Saya pikir jumlah itu cukup untuk membeli sarapan yang mengenyangkan di kota Bandung ini, plus minumnya sekalian. Namun, saya baru ingat, tadi siang saya sudah menggunakan uang lima ribuan untuk membeli sarapan, yang tersisa hanya 1 koin 500an saja saja. Sebenarnya saya pu nya uang eih tapi jumlahnya 1 lemvbar ratusan ribu.
saya menawari temen saya agar ikut menymbang. ternyata dia juga hanya membawa uang dengan pecahan besar..

Saya memutuskan untuk memberikan uang seadanya pada ibu itu.

Ibu itu masih berdiri mematung menatap kesibukan kami.

“Maaf, Bu, tapi hanya ada uang segini saja. Kebetulan kami sedang tidak ada uang kecil,,” dengan tak enak hati kukepalkan uang itu ke tangannya. Saya berkata jujur karena memang saya belum gajian dan saya baru berniat menggesek ATM nanti siang.

“Astaghfirullah…” ucapnya sedetik kemudian ketika ia menyadari nominal yang telah berpindah tangan itu, seraya menatap agak tajam –kalau tidak dikatakan agak ketus- pada saya. Saya tak mampu menerjemahkan arti tatapan itu. Barangkali dia merasa tak percaya saya ‘hanya’ memberinya 500 rupiah saja.
Kemudian dia melempar uang tersebut ke arah tempat saya dan Heru makan. kami berdua tentu saja kaget dengan lemparan uang tersebut seraya berucap "ini duit buat ndoro aja,,,

Dia berlalu tanpa permisi dan tanpa ucapan terima kasih. Air mukanya tak bisa dibilang seramah ketika dia datang tadi. Saya memperhatikan sosoknya bergegas menghilang di tikungan jalan.

Sungguh, Allah memberikan dia fisik yang sehat, kuat, dan sempurna untuk menjadi seorang pengemis. Saya tak habis pikir, bagaimana dia mengambil keputusan untuk menaruh harga dirinya di rumah dan datang jauh2 ke Bandung untuk mengemis. Dimanakah letak rasa syukur atas karunia Allah? Ah, tapi saya tak berhak untuk menghakiminya. Dia pasti punya alasan tersendiri.


Sering juga saya mendengar cerita beberapa rekan yang pernah menjadi korban kekecewaan pengemis yang tidak diberi uang. Mereka akan memaki dengan kata2 yang kasar dan menyakitkan, bahkan ada yang berani merusak kendaraan yang dikendarai. Kini, memberi uang receh pada pengemis bukan lagi berangkat dari niat shadaqah, melainkan untuk menyelamatkan diri dan property dari kebrutalan tindakan pengemis yang tidak diberi uang. Pernah saya berinisiatif memberi kue kecil dan permen untuk pengemis anak2. Apa reaksi mereka? Mereka kecewa karena saya tidak memberikan mereka uang receh dan akhirnya mereka lupa untuk berterima kasih. Alih2 berterima kasih, malah ucapan yang tak pantas yang keluar dari mulut mungil mereka.


Oya saya pernah denger Cerita dari temen..
Pernah juga suatu pagi, diantara rasa mabuk ditengah kehamilan trimester pertama, seorang pengamen memaksa saya untuk memberinya uang. Saat itu, diangkot, saya duduk di pojok sambil merem ayam, menahan gelombang mual dan pusing yang menyerang. Si pengemis mengedarkan topinya untuk menampung recehan pada para penumpang. Saya yang saat itu sedang tiduran tidak mengindahkannya. Tiba2 sebuah teguran membangunkan saya, “Hei! Hei, Neng!”, serunya sambil mengeluarkan siulan tak sopan. Saya terbangun dan melihatnya. Saya menganggukkan kepala sambil tersenyum dan memberi isyarat bahwa saya tak hendak memberinya uang. “Muslimin kok sombong!!” makinya keras dengan wajah memerah. Saya sangat kaget sekali menerima reaksinya. Namun akal sehat lebih menguasai saya saat itu. Apakah jilbab yang menjadi identitas saya serta merta menjadi alasan saya untuk memberi pengemis uang? Saya berhak menentukan pada siapa shadaqah diperuntukkan. Yang jelas, bukan pada pengemis gadungan yang kasar dan tak sopan seperti dia, yang tanpa malu2 menadahkan tangan sementara tangan yang satunya lagi tengah memegang Dji Sam Soe yang mengepul2kan asap!

Sebuah survey di harian Pikiran Rakyat, pernah mencatat bahwa gelombang pengemis dari luar Jawa membludak ke Bandung setelah Jakarta memberlakukan PP yang mengancam akan mengenakan denda bagi pengemis dan pemberi pengemis. Bahkan survey itu pun mencatat rata2 omset para pengemis per bulan, mencapai 1 juta! Masya Allah…

Tak heran jika orang lebih senang mengemis daripada bekerja terhormat. Nilai UMR saja masih dibawah penghasilan para pengemis itu. Belum lagi terikat jam kerja yang ketat dan system kontrak kerja yang tidak menjamin seseorang akan tetap menjadi pekerja pada tahun2 mendatang.

Jika diperhatikan, para pengemis itu memang belum pantas untuk mengemis. Mereka memiliki fisik yang sehat dan kuat untuk bekerja secara terhormat. Mereka bisa menjadi buruh cuci dan setrika di rumah2, atau bekerja di pabrik2, atau apapun dengan segala anugerah yang telah Allah titipkan tapi bukan mengemis seperti itu. Sepertinya kini mengemis telah beralih menjadi sebuah profesi baru yang diminati karena omsetnya lebih dari lumayan. Kehadiran pengemis gadungan ini mengaburkan keberadaan pengemis yang sebenarnya, yaitu pengemis yang memang secara syariat dikategorikan sebagai golongan fakir miskin yang menjadi objek zakat, shadaqah, dan infak.

Saya tertarik mengamati bagaimana Islam menyikapi fenomena eksistensi mereka yang kini saya rasakan makin membludak saja jumlahnya. DR Yusuf Qardhawi dalam bukunya ‘Halal dan Haram dalam Islam’ menjelaskan begini:

Tidak halal juga seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada sedekah orang, padahal dia masih mampu berusaha untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri dan keluarga serta tanggungannya. Untuk itu Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna." (Riwayat Tarmizi)

Dan yang sangat ditentang oleh Nabi serta diharamkannya terhadap diri seorang muslim, yaitu meminta-minta kepada orang lain dengan mencucurkan keringatnya. Hal mana dapat menurunkan harga diri dan karamahnya padahal dia bukan terpaksa harus minta-minta.

"Orang yang minta-minta padahal tidak begitu memerlukan, sama halnya dengan orang yang memungut bara api." (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya)

Dan sabdanya pula:

"Barangsiapa meminta-minta pada orang lain untuk menambah kekayaan hartanya tanpa sesuatu yang menghajatkan, maka berarti dia menampar mukanya sampai hari kiamat, dan batu dari neraka yang membara itu dimakannya. Oleh karena itu siapa yang mau, persedikitlah dan siapa yang mau berbanyaklah." (Riwayat Tarmizi)

Dan sabdanya pula:

"Senantiasa minta-minta itu dilakukan oleh seseorang di antara kamu, sehingga dia akan bertemu Allah, dan tidak ada di mukanya sepotong daging." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Suara yang keras ini dicanangkan oleh Rasulullah, demi melindungi harga diri seorang muslim dan supaya seorang muslim membiasakan hidup yang suci serta percaya pada diri sendiri dan jauh dari menggantungkan diri pada orang lain.

Namun Rasulullah s.a.w. masih juga memberikan suatu pembatas justru karena ada suatu kepentingan yang mendesak. Oleh karena itu barangsiapa sangat memerlukan untuk meminta-minta atau mohon bantuan dari pemerintah dan juga kepada perorangan, maka waktu itu tidaklah dia berdoa untuk mengajukan permintaan.

Karena ada sabda Nabi:

"Sesungguhnya meminta-minta itu sama dengan luka-luka, yang dengan meminta-minta itu berarti seseorang melukai mukanya sendiri, oleh karena itu barangsiapa mau tetapkanlah luka itu pada mukanya, dan barangsiapa mau tinggalkanlah, kecuali meminta kepada sultan atau meminta untuk suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain." (Riwayat Abu, Daud dan Nasa'i)

Qabishah bin al-Mukhariq berkata:

"Saya menanggung suatu beban yang berat, kemudian saya datang kepada Nabi untuk meminta-minta, maka jawab Nabi: Tinggallah di sini sehingga ada sedekah datang kepada saya, maka akan saya perintahkan sedekah itu untuk diberikan kepadamu. Lantas ia pun berkata: Hai Qabishah! Sesungguhnya minta-minta itu tidak halal, melainkan bagi salah satu dari tiga orang: (1) Seorang laki-laki yang menanggung beban yang berat, maka halallah baginya meminta-minta sehingga dia dapat mengatasinya kemudian sesudah itu dia berhenti. (2) Seorang laki-laki yang ditimpa suatu bahaya yang membinasakan hartanya, maka halallah baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan suatu standard untuk hidup. (3) Seorang laki-laki yang ditimpa suatu kemiskinan sehingga ada tiga dari orang-orang pandai dari kaumnya mengatakan: Sungguh si anu itu ditimpa suatu kemiskinan, maka halallah baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan suatu standard hidup. Selain itu, meminta-minta hai Qabishah, adalah haram, yang melakukannya berarti makan barang haram." (Riwayat Muslim, Abu Daud dan Nasa'i)

Maka sabda Nabi:

"Sungguh seseorang yang membawa tali, kemudian ia membawa seikat kayu di punggungnya lantas dijualnya, maka dengan itu Allah menjaga dirinya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka yang diminta itu memberi atau menolaknya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Nah, mungkin perda yang menghukum pengemis dan pemberi pengemis yang kini sudah mulai diberlakukan di Jakarta merupakan salah satu manifesto dari anjuran Rasulullah yang menginginkan ummatnya tidak bermalas-malasan bekerja dan menjaga harga dirinya dari barang yang haram.

Pernah juga kami kedatangan penjual barang2 kerajinan buah tangan para tunadaksa. Dengan empati yang luar biasa, rekan2 saya membeli lap tangan, keset, dan ceumpal kompor untuk membantu para tunadaksa. Saya sungguh menyimpan kekaguman yang luar biasa pada para tunadaksa itu. Meski dililit keterbatasan fisik yang tak sempurna, mereka masih memiliki rasa malu dan harga diri untuk pantang mengemis. Padahal, dengan kondisi fisik mereka, tentunya orang akan memberikan toleransi lebih jika dia memutuskan untuk mengemis.

Well, mungkin kita juga harus bijaksana, kepada siapa kita akan menitipkan shadaqah. Sekarang, telah berdiri lembaga2 amil yang terpercaya dan memiliki program pemerataan ZIS secara terorganisasi dan menjamin titipan ZIS kita sampai pada muzakki yang memang berhak secara syara. Insya Allah akan lebih barakah dan bermanfaat…