29 April 2009

Mahasiswa Oh Mahasiswa...

Gampang betul mendapatkan gelar pahlawan jaman sekarang. Hanya dengan berdemo, mengutuk pemerintah dengan kata-kata kotor, berbuat anarkis sambil bakar-bakaran, menantang polisi sambil lempar batu, memblokir jalan umum dan bikin macet, kasih bogem mentah ke setiap orang yang lewat—-tentu dengan dalih mengatasnamakan rakyat—-dan jadilah sudah.

No offense bagi keluarga-kerabat Maftuh Fauzi, tapi kata teman saya, “Orang gila mati gara-gara demo di jalan kok dibilang pahlawan rakyat.” Teman saya yang lain malah bilang, “Pahlawan itu orang yang berjasa buat negara, lah ini, Maftuh, apa yang diperbuatnya buat Indonesia?” Barangkali kalau para founding fathers negeri ini masih hidup, mereka akan menangis melihat gelar pahlawan diobral begitu murahnya.

Para mahasiswa itu mungkin lupa bahwa kita baru bisa mengatakan diri kita berguna jika hidup kita sungguh bisa membawa manfaat bagi orang banyak. Para mahasiswa ini mungkin merasa sudah terlampau hebat, menganggap diri mereka dewa reformasi, padahal mereka bukan superhero dan superbody yang bisa seenaknya berbuat ini-itu mengatasnamakan rakyat, demokrasi, dan seribu satu jargon lainnya.

Barangkali memang kapasitas otak para mahasiswa itu telah menyusut ukurannya. Mereka enak-enak membakar mobil aparat, padahal mobil itu dibeli dengan uang rakyat. Pagar gedung DPR yang sebenarnya dibangun atas keringat rakyat dirusak begitu saja. Pembatas jalan tol yang dibuat untuk kepentingan rakyat juga ikut dirobohkan. Katanya mereka mendemo soal BBM, tapi malah memblokir dan membuat macet jalan, yang pada akhirnya malah membuat ongkos bensin terbuang sia-sia.

Mereka seenaknya meneriakkan nasionalisasi Freeport. Perusakan alamnya memang sungguh luar biasa, tapi apa mereka pernah mendenger setoran 1% profit untuk suku-suku di sana? Tahukah mereka untuk apa dana yang nilainya cukup besar itu digunakan? Pernahkah mereka mendengar masyarakat Desa Banti, Tembagapura yang direlokasi dan dibuatkan rumah sesuai permintaan namun bagaimana nasib rumah-rumah tersebut sekarang? Kalau mereka tahu keadaan sebenarnya, saya bertaruh mereka tak akan teriak demikian.

Mereka juga ngotot meminta nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang sekarang dimiliki asing. Tapi mereka lupa siapa yang sesungguhnya mengobral perusahaan-perusahaan tersebut sehingga sampai ke pangkuan asing tanpa memberi keuntungan buat bangsa sendiri. Mereka lupa bahwa main rampas dengan cara yang kasar tak cuma menurunkan kredibilitas Indonesia di mata dunia, tetapi juga membuat inflasi melompat tinggi yang pada akhirnya justru makin menyengsarakan rakyat.

Mereka berdemo dengan modal nekad serta berbekal narkoba dan miras. Polisi yang sedang menjalankan tugasnya malah mereka sebut “anjing” dan mereka lempari molotov. Tapi ketika jatuh korban, mereka membawa-bawa nama Komnas HAM atau Kontras. Siapa yang sebenarnya pengecut? Mestinya mereka sadar bahwa kepala benjol, terkena pentungan, tersiram water cannon, tertabrak, tertembak, cedera, berdarah, atau bahkan mati itu adalah resiko dari demo yang anarkis. Siapa yang sebenarnya kekanak-kanakan?

Pendek kata, mereka lupa bahwa negara ada karena rakyat. Dan apa yang mereka perbuat sesungguhnya justru sesuatu yang mendzalimi dan menyakiti hati rakyat banyak. Kalau memang ingin membela kepentingan rakyat:

mengapa tidak rajin belajar, segera selesaikan kuliah, dan membuat lapangan pekerjaan untuk menampung pengangguran di negeri ini yang jumlahnya bejibun?

mengapa tidak memikirkan solusi energi alternatif yang mudah dan murah bagi rakyat, mengingat masih ada 13% rumah tangga Indonesia yang belum terjangkau listrik?

mengapa tidak menggugat oknum LSM yang melacurkan diri ke bangsa lain dan menjelek-jelekkan bangsa sendiri demi kepentingan perut mereka?

mengapa tidak mendemo para pengemplang BLBI dan menuntut mereka mengembalikan utangnya yang mencapai triliunan rupiah?

mengapa tidak mendemo production house yang memproduksi sinetron yang berpotensi mendegradasi moral bangsa ini?

dan masih banyak mengapa-mengapa lain yang seharusnya dijawab sebelum mereka turun ke jalan.

Anyway, Anda mungkin heran mengapa kampus UNAS yang notabene tidak menunjukkan batang hidungnya era Mei 1998 tiba-tiba lantas mengemuka? Padahal di kampus “kecil” itu tidak banyak mahasiswa yang aktif dalam kemahasiswaan dan mengusung ideologi garis keras. Atau mungkin Anda juga bertanya-tanya mengapa kampus-kampus mainstream seperti UI, IPB, ITB, UGM, Undip, Unpad, Unair malah relatif tidak bergerak melawan pemerintah?

Ada sejumlah opsi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, mungkin mereka tidak ada dalam peta percaturan pergerakan mahasiswa sehingga lepas dari radar pengawasan aparat dan intelijen dan bisa bebas berkoar begitu saja. Kedua, jumlah aktivis yang kecil justru merupakan peluang untuk disusupi dan dimanfaatkan guna provokasi pihak-pihak tertentu di kampus-kampus tersebut.

Tapi barangkali jawaban yang lebih pas adalah karena mereka (maaf) tidak secerdas senior-senior mereka dari kampus-kampus mainstream. Para mahasiswa dari kampus mainstream mungkin cukup intelek untuk memahami bahwa kenaikan BBM memang berdasar alasan-alasan yang rasional dan relatif tidak banyak alternatif lain selain mengurangi subsidi. Wajar jika demo yang dilakukan mahasiswa dari kampus-kampus utama tersebut hanya ala kadarnya.

Dugaan ini makin kuat mengingat demo dari UNAS dan kampus “kecil” lainnya juga makin irasional. Awalnya mereka menuntut pertanggungjawaban polisi atas meninggalnya rekan mereka. Namun, ujung-ujungnya mereka menuntut Kapolsek, Kapolda, Kapolri, hingga SBY-JK mundur karena dianggap tidak kompeten. Sungguh merupakan tuntutan demo yang terlalu garing untuk dibilang sebagai sesuatu yang lucu. Apalagi secara kasat mata terlihat adanya aksi provokasi, penyebaran fitnah, dan pembentukan opini yang hanya mencari-cari kesalahan aparat kepolisian semata.

Saya percaya aparat kepolisian dan intelijen cukup cerdas untuk bisa mengatasi persoalan-persoalan semacam ini. Mahasiswa juga perlu dikembalikan ke tempat duduknya semula sebagai agen perubahan yang mengusung nilai-nilai intelektual yang berbudi pekerti luhur. Mari sama-sama berdoa agar bangsa ini tak sampai terjebak pada chaos yang pernah terjadi sudah-sudah. Amien.

Dan ngomong-ngomong soal BBM, tahukah Anda bahwa di Simelue harga bensin mencapai Rp 20.000 per liter? Anehnya, masyarakat di sana tak banyak protes dan perekonomian masih terus berputar.

Dari Berbagai Sumber.