24 April 2009

Ada Apa Dengan Narsis ???

Mungkin Anda sudah tahu. Dalam mitologi Yunani kuno, konon seorang pemuda bernama Narcissus sedang berjalan-jalan menyusuri danau. Suatu saat ia membungkuk di tepi danau hendak meminum sedikit airnya. Narcissus baru sadar betapa tampan dirinya dari bayangan yang tercermin di atas permukaan danau dan jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Ia mencoba mengulurkan tangannya dan hendak mencium bayangannya sendiri. Sayangnya, Narcissus kemudian tergelincir dan mati tenggelam. Para dewa mereinkarnasi jasadnya menjadi bunga yang dinamai bunga narcissus.

Agak sulit menebak kapan pertama kali gelombang narsis 2.0 menyerbu dunia maya di Indonesia. Sejak kali pertama blog menjadi populer di Indonesia, gelagatnya memang sudah terlihat. Orang-orang ngeblog hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya eksis di dunia maya—-atau lebih parah lagi, biar nongol kalau kita googling namanya. Tapi gelombang yang agak santer mungkin terjadi ketika Friendster menjadi sangat ngetren ditunjang dengan murahnya ponsel-ponsel berkamera VGA.

Bisa ditebak, semua jadi berlomba-lomba mengoptimalkan jumlah foto di Friendster. Foto dilakukan di mana saja demi kejar setoran. Posenya juga benar-benar gak nahan—-dengan gaya diimut-imutkan, didekatkan kamera dengan angle yang tinggi, sudut bibir sedikit dimonyongkan, dan mata disipitkan agar mirip artis Jepang. Kalau kurang, Photoshop bisa dikerahkan untuk memanipulasi foto, terutama untuk menyembunyikan jerawat dan tanda lahir yang tidak diinginkan.

Friendster mendadak jadi aneh. Kosakata baru seperti “akyu”, “luthu”, “kamuwh” mendadak jadi populer. Friendster sontak penuh dengan glitter dan blip animasi yang menyolok mata. Profil ditulis dengan kombinasi huruf kapital dan huruf kecil yang menyusahkan pembacanya. Jumlah teman dan testimonial sudah menjadi indikator populer tidaknya seseorang. Inilah mengapa akhirnya saya menutup Friendster sejak sekitar setahun lalu.

Kini, penderita narcissistic personality disorder (NPD) nampaknya justru kian akut. Kehadiran Facebook (dan microblogging seperti Twitter dan Plurk) agaknya membuat narsisme kian populer. Banyak anak sekolah merengek minta dibelikan Blackberry dengan alasan untuk menunjang tugas—-padahal hanya untuk update status atau chatting dengan teman di jam pelajaran. Mejeng di kafe dan mall menjadi rutinitas wajib dengan “sengaja” menonjolkan Blackberry. Walhasil, ponsel berfitur canggih itu hanya digunakan sepersekian dari kemampuan maksimalnya.

Dulu, bermain laptop cuma menjadi privilege para eksekutif muda. Tapi sekarang, banyak anak muda yang pamer laptop di coffee shop. Masa bodoh dengan spesifikasi, chipset, dan semacamnya. Kalau perlu beli Apple yang lebih cute dan seksi—-walaupun tak tahu bagaimana mendayagunakan MacOS. Hotspot gratisan menjadi target utama demi mengakses Facebook atau bermain game online. Kalau perlu, pesan minum satu tapi buat barengan dan pura-pura cuek nongkrong berjam-jam.

Kamera SLR, yang dulunya cuma dipakai para profesional, kini menjadi kamera sejuta umat. Dengan dalih hobi dan meningkatkan kreatifitas, kamera canggih ini malah cuma jadi senjata untuk menambah foto-foto narsis dengan resolusi tinggi. Kamera yang setidaknya dibanderol Rp 7-15 juta menjadi tidak optimal karena setting yang dipakai hanya default/auto. Album di Facebook penuh dengan foto diri sendiri. Yang lebih parah, setiap teman di-tag di foto-foto tersebut.

Facebook memang fenomena. Ia bisa membuat penggunanya seolah wartawan infotainment yang selalu memburu informasi tentang dapur orang lain. Ia membuat penggunanya sibuk memelototi status orang lain, memberi komentar, atau bergantian menulis di wall orang lain. Sama seperti yang terjadi di Friendster, makin gaul di Facebook berarti makin eksis. Hari ini add 100 orang, besok 200, minggu depan 1000 orang—-padahal yang benar-benar dikenal cuma 50an saja. Menulis notes di Facebook menjadi wajib, walaupun cuma asal comot dari tulisan/blog orang lain.

Bisa disimpulkan bahwa we have trained our selves and our communities to be narcissistic. Memang benar, Freud pernah mengatakan bahwa narsis “is an essential part of all of us from birth.” Manusia, by its nature, memang punya hasrat ingin dicintai, dihormati, dan dipuji. Namun segala sesuatu yang berlebihan tentu tidak bisa dibenarkan. Apalagi kalau ujung-ujungnya justru membuat kita sombong dan cenderung menganggap remeh orang lain.

Dalam mitosnya, ketampanan Narcissus sampai membuat orang mempertanyakan umurnya kepada peramal Tiresias. Kata Tiresias, “Narcissus bisa hidup lama, kecuali jika dia belajar mengetahui dirinya sendiri.” Jadi, jangan terlalu narsis deh, kalau kita ingin berumur panjang. :)

Sumber: http://nofieiman.com