12 Januari 2013

Korupsi a la Mahasiswa

Hampir setiap tahun Departemen Pendidikan Nasional melalui Dirjen Dikti menggulirkan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) untuk menampung kreativitas mahasiswa di bidang teknologi, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan kewirusahaan. PIMNAS sebagai forum pertemuan ilmiah dan komunikasi produk kreasi mahasiswa, diikuti mahasiswa atau kelompok mahasiswa yang terpilih melalui jalur PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) dan non PKM. PIMNAS menjadi wahana pertukaran kemahiran berpikir, kepintaran dan beragam budaya Indonesia bagi seluruh mahasiswa, dosen pembimbing bahkan siapa saja yang aktif menghadirinya. Pada hakekatnya, hal yang paling diharapkan terjadi dalam pertemuan para intelektual tersebut adalah munculnya kesadaran akan manfaat kebhinekaan dan hikmah meningkatnya nilai kematangan intelektual yang diperoleh. Untuk mendukung tercapainya harapan tersebut, Panitia Penyelenggara PIMNAS bersama  Ditlitabmas Ditjen Dikti dituntut untuk bekerja secara integratif, efisien dan efektif serta akuntabel bagi terjaminnya kelancaran proses seluruh acara. Dana yang digelontorkan Pemerintah untuk penyelenggaraan ini tidak sedikit. Sayang, dalam praktiknya, program ini justru memunculkan potensi korupsi bagi mahasiswa yang terlibat.

Saya menulis ini bukan karena sakit hati, karena Proposal PKM saya ditolak atau saya iri pada kesuksesan teman-teman mahasiswa di Program Pemerintah ini. Namun saya hanya ingin menyuarakan suara hati yang selama ini terpendam. Semoga tulisan ini menjadi semacam otokritik supaya potensi korupsi yang terjadi tidak berkembang menjadi tindak pidana korupsi yang sesungguhnya atau setidaknya menjadi pelajaran korupsi dalam PKM tidak dipraktikkan mahasiswa ketika menjadi pejabat publik di kemudian hari. Mengingat korupsi di negeri ini sudah seperti kebiasaan yang harus dilakukan tanpa dosa.

PKM sebenarnya sudah menunjukkan itikad baik pemerintah untuk mengembangkan aktivitas penelitian di kalangan mahasiswa. Mengingat penyelenggaraan PIMNAS bertujuan untuk 
  • Menjadi media dan sarana komunikasi mahasiswa seluruh Indonesia
  • Membuka peluang bagi pengembangan potensi mahasiswa dalam kegiatan ilmiah
  • Mempertajam wawasan dan meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
  • Meningkatkan posisi tawar mahasiswa di dunia kerja atau masyarakat
  • Memberi umpan balik terhadap proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Program ini juga memberi mahasiswa alternatif kegiatan, selain unit kegiatan mahasiswa atau badan eksektuf mahasiswa yang telah ada di perguruan tinggi. Dengan begitu, mahasiswa tidak terjebak pada aktivitas 3K yang menjadi momok aktivitas intelektual; kos-kampus-kantin.

PKM terdiri dari beberapa bidang PKM Penelitian (PKM-P), PKM Penerapan Teknologi (PKM-T), PKM Kewirausahaan (PKM-K), PKM Pengabdian Masyarakat (PKM-M), PKM Gagasan Tertulis (PKM-GT). Mahasiswa bebas memilih bidang tersebut sesuai dengan minat dan bakatnya serta kemampuannya.  Dan proposal yang diterima dan disetujui akan didanai oleh Dikti. Sayangnya, sepertinya ada jarak antara konsep tujuan dan penerapan di lapangan. Sepertinya teori-teori penyelenggaraan PKM sulit untuk diterapkan, banyak kendala yang membuat PKM mencapai tujuan yang ditetapkan. Justru PKM secara tidak sengaja mengajari mahasiswa melakukan tindakan korupsi. Mengapa saya bilang korupsi? Nanti akan saya jelaskan di paragraf selanjutnya. Kemudian mekanisme yang dikeluarkan Dikti juga sepertinya tidak realistis dan menuntut mahasiswa agar kreatif mengakali aturan-aturan yang ada. 

Mengapa saya bilang PKM seperti mengajari mahasiswa untuk korupsi? Banyak sisi yang bisa kita lakukan untuk melihat potensi korupsi yang terjadi di lapangan. Saya pernah membaca di sebuah kolom surat pembaca di sebuah surat kabar, bahwa potensi ini bisa kita lihat dari 3 sisi, Dikti, dosen pembimbing, dan terakhir tentu saja mahasiswa itu sendiri. Kenapa? 

Pertama, sebagai pembuat tetek-bengek peraturan, Dikti menetapkan aturan yang tidak realistis. Kenapa?  Misalnya, dalam Pedoman PIMNAS yang diterbitkan DP2M, biaya program yang akan digelontorkan oleh Dikti untuk mendanai program yang terkait maksimal sekian juta Rupiah. Dengan adanya penetapan nominal maksimal ini membuat mahasiswa bisa mengakali aturan yang ada dengan mengajukan anggaran maksimal meskipun sebenarnya programnya tidak memerlukan biaya sebesar yang diajukan itu. Jika kemudian proposal tersebut didanai, sisa biaya program tentu akan digunakan untuk kepentingan lain, kepentingan pribadi mahasiswa penerima dana tentunya, entah foya-foya entah untuk biaya lainnya. Dalam konteks ini, mahasiswa dilatih memanipulasi anggaran yang diberikan untuk pemerintah untuk memperkaya diri, yang dalam dalam undang-undang yang berlaku di negara ini hal tersebut jelas-jelas sangat dilarang. Ya, Mana ada korupsi diperbolehkan.

Selain itu di lapangan, biaya program tidak diberikan dalam satu tahap. Di beberapa perguruan tinggi, biaya program diturunkan dalam tiga tahap, yakni awal, pada pertengahan program, dan setelah laporan selesai disusun. Hal ini adalah sebuah realita yang janggal karena membuat mahasiswa melaporkan dana yang sebenarnya belum mereka gunakan, dan kebanyakan laporan yang disampaikan adalah laporan fiktif yang diotak-atik sedemikian rupa supaya menghabiskan seluruh biaya program. Oh dear.. 

Sejatinya sebuah laporan progran seharusnya disusun setelah program selesai dilaksanakan sebagai bentuk pertanggungjawaban. Namun, dalam PKM, laporan menjadi berkas yang bersifat formal, sekadar memenuhi kewajiban sebagai pelaku program yang didanai. meski ada kegiatan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program akan dilakukan pada pertengahan dan akhir waktu pelaksanaan program, namun sepertinya hal tersebt kurang efektif.  Karena laporan dibuat sebelum pencairan dana tahap ketiga, dana tersebut menjadi tidak terdekteksi penggunaannya. Sangat mungkin mahasiswa menggunakannya untuk keperluan lain, seperti jajan, bayar kuliah, atau bahkan belanja keperluan pribadi. Menggunakan anggaran pada pos yang tidak semestinya jelas perilaku korup. Hal ini bisa diperparah, karena keikutsertaan mahasiswa yang sama dalam sebuah program PKM yang berbeda sering kali tidak terdeteksi. Teman saya bahkan bisa mendaftarkan 10 proposal PKM dalam wilayah regional Yogya. Dan hal tersebut tidak terdeteksi, namun dia bisa mendapatkan dana sebesar sampai Rp. 2.000.000 dari pengajuan proposal ini, karena setiap kali kita mengajukan proposal maka kita akan mendapatkan ongkos keringat sebesar Rp. 150.000 sampai Rp. 200.000 per proposal yang masuk. Meski belum tentu ke sepuluh proposal yang ia ajukan bisa tembus untuk didanai namun apa yang ia lakukan ini sungguh hebat bukan?

Kedua. Selain penataan aturan regulasi, potensi pendidikan korupsi semakin subur karena pola asuh yang tidak tepat. Dikti yang berlaku sebagai penyelenggara kegiatan tidak menyiapkan mekanisme pendampingan, pengawasan, dan evaluasi yang baik bahkan terkesan membiarkan sehingga membuat program ini tidak terkontrol. Memang kita harus mengakui keterbatasan Dikti dalam mengawasi seluruh program yang dijalankan mahasiswa. Mengingat program yang dijalankan mencapai ribuan, Dikti tidak mungkin bisa mengawasi setiap program satu per satu. Mungkin karena itulah, Dikti akhirnya menyerahkan pendampingan kepada dosen di setiap perguruan tinggi. Sayang, dosen juga tidak melakukan pendampingan dengan baik karena tidak ada anggaran pendampingan. Apalagi dosen juga disibukan kegiatan kampus, bimbingan skripsi/penelitian mahasiswa, program pengabdian masyarakat, sekaligus penelitian thesis/desertasi.  Meski pendampingan kurang maksimal, mestinya kejanggalan pada PKM terbaca saat Dikti melakukan monitoring pelaksanaan PKM. Namun, sekali lagi harus disayangkan karena monitoring dari Dikti hanya dilakukan dua kali selama program berjalan. Selama ini, monitoring hanya dilakukan dengan wawancara dan hanya sesekali dilakukan peninjauan sehingga mahasiswa bisa membuat laporan perkembangan terkesan sesukanya. Walau tidak semua mahasiswa telodor seperti ini tapi hal ini bisa memunculkan peluang atau potensi bagi mahasiswa untuk melakukan korupsi. 

Ketiga. Potensi korup juga terjadi ketika mahasiswa menyampaikan laporan akhir program. Karena laporan harus disampaikan, bahkan sebelum biaya program dicairkan, laporan hanya berisi berbagai kemungkinan. Laporan penggunaan dana diotak-atik sedemikian rupa, secantik mungkin supaya dana menjadi habis digunakan untuk melakukan program PKM artinya, mahasiswa dibiasakan membuat laporan fiktif yang berpotensi merugikan negara. Ingat, dana yang diberikan ini adalah uang negara yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan rakyatnya. 

Kondisi di atas semakin runyam jika melibatkan oknum dengan mentalitas uang. Baik mahasiswa maupun dosen ada yang memanfaatkan PKM sebagai alat mencari penghasilan, seperti teman saya yang berhasil memasukan 10 proposal sekaligus, Coba bayangkan selain dapet ongkos keringat dia juga bisa dapat "penghasilan" lain apabila salah satu proposalnya diterima tentu ia akan mendapatkan tambahan penghasilan yang lumayan besar kembali sebab bagi mahasiswa, nominal Rp 6.000.000  misalnya itu sangat menggiurkan, uang sebesar itu bisa digambarkan dengan satu unit laptop, biaya kos selama tujuh tahun, sebuah sepeda motor second atau bahkan untuk sekedar foya-foya.  Itu hanya bila salah satu proposalnya diterima, tidak menutup kemungkinan ia bisa meloloskan tiga proposal lainnya, Tapi syukurnya ada peraturan satu mahasiswa hanya boleh mengajukan satu judul sebagai ketua kelompok dan satu judul sebagai anggota. Nah sisanya? masih bisa ia serahkan judulnya kepada temannya yang proposalnya tidak lolos, tentunya dengan sedikit "pembagian rezeki" dana proposal tersebut, nambah lagi kan penghasilanya?

Kenyataan di atas tentu memprihatinkan sebab PKM diselenggarakan dan didanai pemerintah menggunakan uang rakyat tentunya. PKM memang mampu mengembangkan khazanah keilmuan, tapi jika mekanismenya selalu begini dan tidak diubah justru akan membiasakan mahasiswa melakukan tindakan korupsi. Meski tidak semua mahasiswa melakukan hal yang tersebut diatas, tapi hati sungguh miris melihat kenyataan ini, mahasiswa terkadang meneriaki pejabat korup di saat demo namun masih banyak di kalangan kita sendiri menghalalkan hal tersebut.