27 Januari 2011

Ada Apa Dengan Apoteker Kita ???

Saya mahasiswa farmasi semester atas di sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Jujur dari kecil saya tidak pernah punya cita-cita atau sekedar ingin menjadi seorang farmasis atau apoteker. Bahkan saya tidak tahu apa itu farmasi dan ternyata ada jurusan farmasi, sampai awal-awal kelas 3 SMA saat sebuah universitas negeri membuka Ujian Masuk atau yang lebih sering disebut UM. Setelah itu saya mendapat brosur pendaftaran dari sekolah, nah dari situ saya baru mendengar apa yang disebut Farmasi, karena di daftar fakultas Universitas itu ada Fakultas Farmasi, (Aneh memang kenapa saya baru ngeh.. haha). Saking penasarannya saya langsung hunting tanya sana-sini, dan kesimpulannya farmasi adalah jurusan yang bergengsi mirip kedokteran, masuknya susah karena harus berebut dengan puluhan ribu pesaing, setelah lulus di farmasi bisa mengambil pendidikan profesi  Apoteker, sebuah profesi yang konon tidak kalah dengan kedokteran penghasilannya pun "bisa diharapkan" untuk menjamin masa depan, dan yang terpenting lapangan kerjanya luas, lulus bisa langsung kerja, itu kata bukan kata satu atau dua orang saja, saya menyimpulkannya dari pendapat banyak orang mulai dari orang awam, apoteker bahkan dokter pun saya mintai pendapatnya.

Dulu yang sering terbersit di  pikiranku hanyalah untuk ingin menjadi dokter atau insinyur, tapi berbagai pertimbangan mulai dari biaya dan hasil tanya sana sini seperti yang saya ceritakan diatas, mempengaruhi keputusanku saat itu dan saya langsung jatuh cinta dengan jurusan ini, saya pun mengambil jurusan Farmasi saat mengikuti UM namun  karena ternyata Allah berkehendak lain saya belum diterima disana. Saya sempat diterima di universitas top di Semarang saat itu tapi saya sudah jatuh hati dengan jurusan ini, dan saya pun menolaknya hingga Akhinya saya diterima di Universitas lain dikota yang sama dengan jurusan farmasi tentunya. Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga mengambil jurusan ini. Jurusan yang belum lama saya kenal namun saya sudah begitu cinta, halah...

Skip..... Tapi, ternyata, setelah beberapa semester kuliah saya mulai menyadari profesi farmasis/apoteker di Indonesia adalah profesi yang sangat-sangat penuh dengan masalah, mulai dari dispensing obat sampai adanya permasalahan puyer dan masih banyak masalah lain.. So Complicated…  Contoh :
  • Sangat banyak orang tidak mengenal apa itu profesi apoteker, tapi yang lebih parah, apotekernya sendiri yang tidak mengenal apa itu profesi apoteker, sehingga apresiasi masyarakat luas untuk profesi apoteker sangat-sangat kurang (karena memang kontribusi apoteker untuk masyarakat luas pun sangat-sangat kurang)
  • Organisasi profesi yang berhibernasi, tidur cukup lama. Bahkan banyak rekan-rekan apoteker yang bertanya, "Apa sih untungnya terdaftar jadi anggota IAI (dulu ISFI)?" Tapi mudah-mudahan IAI yang sekarang bisa lebih baik, karena minimal terlihat sudah punya niat kuat untuk mulai bangun dari tidurnya. Organisasi ini sepertinya tidak menyentuh para Apoteker dan calon Apoteker yang masih menimba ilmu di bangku kuliah bahkan mungkin saja ada yang tidak tahu apa itu IAI.
  • Banyak hal yang ngga bener terjadi di lapangan. Selama saya PKL semester kemarin, saya banyak melihat kejadian di lapangan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Misal, saat PKL di sebuah Puskesmas, APA di Puskesmas tersebut dengan terkadang sesuka hati memberikan obat yang ada di ruang obat itu, apabila ketika ada temannya, entah itu petugas puskesmas atau bukan, dengan cuma-cuma, Korupsi sudah terjadi pada hal-hal kecil macam ini, Korupsi tetaplah korupsi. Ada juga keadaan alat yang digunakan pun miris, dari alat racik puyer yang seharusnya digunakan untuk membuat jus digunakan disini, alat ini juga hanya dibersihkan sekali sehari, oke, alatnya sudah dibersihin dengan tissue, tissue, iya tissue, mana mungkin bisa sebersih yang kita harapkan, lagian tissue juga gak bisa menjangkau semua permukaan alat. Lain lagi, ketika PKL di Apotek saya juga melihat hal-hal yang sebenarnya tidak sesuai teori yang kita pelajari di bangku kuliah. Misalnya, antibiotik yang termasuk golongan obat keras dan harus diperoleh dengan menggunakan resep dokter, namun bila ada pasien yang menginginkannya, dia bisa datang ke apotek dan memperolehnya dengan mudah seperti membeli permen. Jumlahnya pun suka-suka. Selain itu slogan “Tiada Apoteker Tiada Pelayanan” seperti sebuah isapan jempol. Aping (Apoteker Pendamping) di apotek ini hanya datang pada pagi hari, dimana pada pagi hari, jarang sekali ada pasien membawa resep ke apotek ini, di best time-nya apotek, sore hari  hingga malam hari justru tak ada apoteker yang melayani obat-obat, yang ada hanyalah AA (Asisten Apoteker). Lalu kemana APA (Apoteker PenanggungJawab Apoteker)-nya?? APA yang seharusnya menurut UU harus selalu ada di apotek setiap saat, dia malah tidak pernah ada di apotek, bahkan selama saya PKL di apotek ini, APA tidak pernah ada, saya pernah bertanya kepada Aping-nya, dan ternyatanya si APA ini hanya datang ke Apotek sebulan sekali!! #tepokjidat
  • Standar gaji apoteker yang termasuk rendah, bahkan bisa dikatakan sangat rendah apabila dibandingkan dengan tingkat kesulitan ilmu (baik saat kuliah (belum biaya kuliah di farmasi yang tinggi) maupun saat praktek di lapangan) dan resiko pekerjaan yang akan dihadapi. Pekerjaan apoteker tentu sangat berhubungan dengan keselamatan jiwa seseorang, karena sangat erat hubungannya dengan obat yang notabene racun bagi tubuh (walau semua kembali kepada takdir Allah SWT). Ini sangat bertolak belakang dengan apa yang saya pikirkan saat awal masuk jurusan ini .
  • Masih banyak apoteker yang masih merasa "tidak ada apa-apa atau semua baik-baik saja" dengan profesinya. Nah ini yang lumayan parah. Gimana kondisi profesi ini bisa membaik jika personilnya sendiri tenang-tenang saja?.
  • Lapangan kerja yang konon katanya sangat luas tapi nyatanya?? Membuka Apotek?? Sekarang Apotek sudah seperti jamur, contohnya di Jogja dalam radius 500meter saja ada paling tidak 2-3 Apotek ini tentu bukan persaingan yang sehat tentunya bahkan ada apoteker yang hanya berpenghasilan sekitar Rp. 20.000 adalagi yang lebih parah ada apoteker yang cuma digaji Rp. 500.000 perbulan, ini kalo dirata-rata hanya dapat Rp. 16.000/hari. Hadeh, ini sangat miris jenderal.  Mau nyambi buka apotek sambil kerja lain? Ada SK yang mengharuskan Apoteker harus selalu ada di Apotek, jujur saya bilang kerja menjadi Apoteker Terlalu ribet, Terlalu banyak aturan.  Mau kerja di Industri? Iya, gajinya besar, namun untuk masuk kesana susahnya setengah mati, persyaratan yang diajukan pelaku industri juga berat, lowongan kalau ada paling hanya satu dua kursi saja. Mau jadi PNS?? Sama saja, lowongan yang ada untuk bidang profesi Apoteker sangat sedikit atau malah sering tidak ada lowongan. satu pertimbangan lain adalah Gaji seorang apoteker di PNS pun rendah banget, di Yogyakarta saja cuma 1,5- 1,7 juta perbulan, kalau memang apotekernya masih lajang bolehlah, tetapi kalau sudah punya keluarga? mana cukup! Lain lagi tanggung jawab, seorang PNS kepada negara, yang harus menjadi pelayan masyarakat, ini otomatis mematikan niat para PNS yang ingin bekerja di bidang lain. Oleh karena itu, banyak para lulusan Pendidikan Profesi Apoteker dengan terpaksa harus banting stir memilih profesi lain, bahkan ada kawan saya lulusan apoteker, rela lebih memilih menjadi karyawan di sebuah asuransi dan ini bukan hanya disebabkan masalah sedikitnya lapangan pekerjaan, tetapi juga hal lain, seperti rendahnya gaji yang diterima saat menjadi apoteker, bahkan lebih rendah dengan gaji seorang karyawan biasa yang bekerja di suatu perusahaan swasta.
  • Profesi Apoteker kurang dipercaya oleh masyarakat. Kita punya ilmu farmasi yang kita pelajari  secara susah payah dan penuh perjuangan di perkuliahan. Tetapi ketika membaginya kepada orang awam, dengan embel-embel saran apoteker, rasanya seperti tidak mempercayai kredibilitas apoteker, bahkan mereka lebih percaya pada dokter dan perawat.. Saya kutip perkataan temen saya yang sudah menjadi apoteker di suatu apotek: "kalau mereka nanya obat selalu kata dokter, kalau yang kita bilang ngak sama dengan brosur obat , mereka pasti ngak percaya ama kita, padahal kita udah jelaskan kalau kita ini apoteker" . Saya tak bisa bilang apa-apa ketika mendengarnya, miris...
  • Ada yang mau kasih komentar? Menambahkan? Atau mengurangi? Atau lainnya?
Masalah-masalah diatas yang membuat saya sedikit "menyesal" bahwa telah mengambil jurusan ini. Tapi apa mau dikata, saya sudah tercebur di lautan ini, sudah terkanjur basah, basah saja sekalian. InsyaALLAH, DIA akan memberikan bimbingan pada saya dan semua mahasiswa Farmasi untuk sukses dengan profesi ini. 

Di akhir tulisan ini saya ingin memberikan sebuah pertanyaan, Ada Apa Dengan Apoteker Kita???