13 April 2010

Lebih Baik Kita Tertawa...

Orang mulai skeptis, tidak percaya pada siapapun baik itu sebagian besar partai politik, politisi-politisi, maupun lainnya. Mereka yang bicara laksana debur samudera, namun hidupnya dangkal dan mandeg, laksana rasa yang membusuk. Mereka lebih banyak disinari oleh kemilauan singgasana kekuasaan.

Pernah saya membaca suatu kutipan di suatu blog temenku "Salah satu kerinduan paling universal dalam zaman ini adalah kerinduan akan kepemimpinan yang memikat (compeling) dan kreatif. Para pemimpin raksasa telah melintas cakrawala budaya, politik dan intelektual kita. Sebagai pengikut, kita mencintai dan mengecam mereka. kita berbaris untuk mereka dan berperang melawan mereka. Kita mati demi mereka dan kita membunuh sebagian mereka. Kita tak dapat mengabaikan mereka”, karena itu, pemerintahan harus bisa membangun dirinya menjadi pemerintahan yang memikat hati rakyat dan kreatif melahirkan kebijakan populis.

Negeri ini telah begitu banyak melahirkan berjuta-juta wajah kemiskinan. Wajah kemiskinan yang bukan hanya sekadar pendapatan rendah. Namun juga wajah merefleksikan kondisi pendidikan, pelayanan publik dan kesehatan yang buruk, partisipasi budaya sangat rendah, akses informasi, ketidak mampuan menegakkan hak-hak asasi manusia.

Bahasa kesadaran kita tentang kekuasaan tak pernah terkait dengan kehendak mewujudkan keadilan. Tak ada yang bicara, berkuasa berarti pelayanan, sebaliknya berkuasa berarti minta pelayanan atau minta diagungkan. Kemorosotan kesadaran intelektual terlihat banyak para ahli berlomba-lomba mengemukakan pendapat, namun pendapat-pendapat itu justru membuat keadaan hidup semakin runyam dan sulit.

Panggung hukum hanya dipenuhi drama cerita kutil-mengutil  terjadi secara kontinuitas (episode per-episode). Hukum tak lebih hanya mengusut bayang-bayang si pelaku KKN. Seolah hidup tidak terasa indah tanpa dimahkotai dengan perhiasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) membuat manusia menjadi penjilat untuk bersedia menjual diri kepada kekuasaan tanpa moral - memperjual-belikan kepercayaan - hedonisme merajalela - budaya malu menghilang dari negeri ini, semua menjadi muka tembok. Negeri ini tak pernah sepi, selalu ramai dengan berita tentang seputar mafia. Mulai dari mafia pendidikan,  mafia tender, mafia narkoba sampai mafia hukum yang mencakup mafia kasus dan mafia peradilan. Banyak pihak terlibat disini, ya penegak hukum, jaksa, pengacara, penjahatnya.

Berkeliaran makelar-makelar kasus ("Markus") selalu menari-nari diatas penderitaan si-korban. Hebatnya lagi Markus ini mempunyai seribu wajah, ada markus gelar, markus pajak, markus hukum, bahkan ada markus politik dan sebagainya. Hilangnya, kepastian hukum, kemanfaatan dan perasaan keadilan masyarakat yang diselenggarakan organ-organ negara, menandai kondisi hukum yang disfungisonal. Para pemimpin yang kehilangan kemandirian akibat adanya keterkaitan transaksional dengan pihak pemilik modal alias cukong menjadi faktor penentu. Makelar  kasus yang terjadi di Indonesia, telah menyebabkan para penegak hukum bertekuk lutut, seperti benang basah yang tidak bisa berdiri. Kondisi itu, harus benar-benar dibersihkan, agar sistem peradilan kita berjalan dengan baik. Apakah bisa?

Apakah hal ini menandakan masyarakatnya lagi sedang sakit? Andaikata, memang demikian, wah! Celaka besar! Masyarakat dikatakan sakit apabila masyarakat hanya memiliki satu tujuan dalam kehidupannya. Artinya, segala segi kehidupannya hanya diarahkan kepada keberlangsungan serta peningkatan sistem yang telah ada (dalam hal ini adalah kapitalisme). Keberadaan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan mereka menjadi tersingkirkan dan tertindas. Dan situasi seperti ini menurut cerita seorang sahabat adalah negeri yang bergelombang secara ekstrim. Dimana perilaku kaum elite menjadi amat Machiavelistis, menghalalkan segala cara. Maka tepat, hal yang dikemukakan oleh Gus Dur bahwa bangsa kita adalah bangsa yang munafik ketika menanggapi perilaku politisi kita. Kahlil Gibran pernah mengatakan “Kemunafikan bakal terjadi selalu, sekalipun ujung jemarinya diwarnai dan dikilapkan; dan penipuan tak’kan jera menikamkan paku, kendati sentuhannya gemulai dan penuh kelembutan. Serta kepalsuan tiada akan pernah mengubah diri menjadi kebenaran, sekalipun kaudandani dengan busana sutera dan kau tempatkan dalam istana; keserakahan mustahil menjelma kepuasan batin; kejahatan tak mungkin berubah kebajikan. Sehinggga kita akan tertawa sendiri seperti orang seperempat miring!…aaahaha…ahahaha…aahahaha!!!