8 Februari 2010

Gelar Pahlawan Di Indonesia Tergantung Permintaan Pasar ( ? )

Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Sebuah nama yang kini dikenang setelah ditinggalkan pemiliknya adalah Abdurrahman Wahid. Terhadap nama pendiri Partai Kebangkitan Bangsa ini, kini muncul kehebohan baru. Setelah kesedihan mendalam yang ditimbulkan karena kematiannya, nama Abdurrahman Wahid sekarang menjadi perdebatan luas sekitar keinginan untuk memberinya gelar pahlawan nasional. Gelar yang penganugerahannya sepenuhnya ada di tangan pemerintah atau negara.

Sebelum negara menolak atau mengukuhkan gelar pahlawan bagi Gus Dur sapaan akrab Abdurrahman Wahid, publik sesungguhnya telah menghormatinya dengan gelar guru bangsa serta bapak pluralisme. Beberapa kalangan malah menyebutnya bapak demokrasi. Sebuah gelar, apalagi gelar pahlawan, diberikan kepada seseorang karena ada unsur extraordinary dari pikiran maupun perbuatan seseorang yang menimbulkan dampak luar biasa bagi kemanusiaan. Karena luar biasa maka prestasinya nyata tidak bisa ditutup-tutupi. Karena prestasi dan karyanya luar biasa dan kasatmata.

Undang-undang telah mengatur soal gelar dengan jelas. Ada kriteria dan ada Dewan Gelar. Kalau berpegang dari kenyataan ini, sesungguhnya tidak beralasan untuk ribut-ribut soal pantas atau tidaknya Gus Dur dianugerahi gelar pahlawan nasional. Keributan terjadi dan inilah penyakit politik di Indonesia adalah memolitisasi perkara yang sesungguhnya telah terang benderang dan tidak memerlukan komplikasi. Karena politisasi maka gelar pahlawan Gus Dur sekarang ini menjadi bahan dagang sapi. Golkar, misalnya, mau mendukung Gus Dur sebagai pahlawan asal Pak Harto juga dianugerahi gelar yang sama.

Gelar sekarang cenderung menjadi adu pasar politik. Sebuah gelar diberikan tergantung seberapa kuat desakan politik. Maka penggalangan dukungan dikerahkan dengan berbagai cara. Ini menyalahi aspek kejujuran dari sebuah gelar. Kalau Dewan Gelar bekerja atas kriteria yang telah ditetapkan, sesungguhnya tidak perlu diributkan apakah Gus Dur pantas mendapatkannya atau tidak. Gus Dur, dengan segala kekurangannya, telah memberi kontribusi luar biasa bagi terciptanya ruang demokrasi di negeri ini. Adalah berbahaya ketika Dewan Gelar atau negara mendasarkan pemberian gelar pada mekanisme pasar politik. Siapa yang memperoleh dukungan paling banyak, dialah yang mendapatkan gelar.

Ini berbahaya karena akan muncul mobilisasi liar yang memaksakan kehendak. Bisa-bisa setiap kampung, setiap keluarga, memobilisasi dukungan untuk memperoleh gelar dari negara bagi kakek neneknya. Maka gelar hanya akan menjadi barang murahan.

Indonesia oh Indonesia....