13 Februari 2010

Dimanakah Ghirroh Ke-Sayyid-anmu

Fikri duduk terdiam seorang diri di warung kopi di sebuah gang sempit. Pikirannya sedang kusut. Ia mengeluarkan kotak Marlboro dari kantongnya dan mulai merokok tanpa henti. Sudah dua jam ia duduk disitu. Batang rokoknya tinggal satu. Ia menyalakan rokok terakhirnya. “Kapan kita menikah?” suara Tasya masih terngiang di telinganya. Ia bukannya tidak ingin menikahinya. Dari segi fisik, mental, dan keuanganpun Fikri sudah siap untuk menikah. Satu-satunya masalah yg sedang dihadapinya adalah bagaimana mengatakannya pada orang tuanya. Dari dulu ia tahu Tasya yang keturunan indo-cina tidak akan bisa diterima di keluarganya.

“Engkau seorang sayid. Menikahlah dengan syarifah. Ini harapan abah dan umimu yang nggak bisa dikompromi. Cukuplah kakakmu saja yang ‘keluar dari rel-nya’.” Itu kata-kata abah yang masih segar di ingatannya saat kakaknya menikah dengan lelaki pribumi lima tahun yang lalu. Fikri membenamkan wajahnya ke meja. “Bagaimana ini Ya Allaah…” Ia tidak sampai hati menyakiti orangtuanya namun ia tidak ingin melepaskan Tasya, apalagi gadis itu sudah cinta mati dengan Fikri. “Cks…Tasya bisa nangis darah jika aku putuskan. Bahkan mungkin bunuh diri.” Setan mulai meracuni pikirannya. Fikri mulai berpikiran yang tidak-tidak. Kedua tangannya memegang kepalanya seakan-akan mau pecah.

“Hey, Kri!” Tiba-tiba ada yang menepuk bahu Fikri. “Bekher ente? Ada apa kok mukamu kusut gitu kayak orang stress?”

“Oh..Bang Ali..ana emang lagi banyak pikiran nih bib” jawab Fikri. Bang Ali adalah keponakan umi satu ayah tapi lain ibu. Ia tinggal di depan warung kopi bersama Kak Balqis istrinya, dan ketiga anaknya yang masih kecil.

Ada sedikit kelegaan di hati Fikri bertemu Bang Ali. Ia mempunyai pandangan yang luas dalam menilai sesuatu. Banyak orang yang minta pendapatnya saat mereka sedang dihadapi masalah. Seperti biasa, Fikri mulai menceritakan masalahnya dari awal hingga akhir.

“Fikrii..Fikri…” Bang Ali menggelengkan kepalanya. Sebelum berkata lebih lanjut ia memesan satu bungkus rokok dan secangkir kopi. Sambil memasukkan batang rokok ke mulutnya, ia berkata “Ente bahlol ya? Dulu bukannya udah dua kali ngadepin persoalan yang sama. Gak kapok-kapok ente? Cuma orang bahlol yang gak bisa ngambil pelajaran dari pengalamannya. Cape deeeh ”.

Bang Ali memang benar. Ini merupakan yang ketiga kalinya ia melakukan kesalahan yang sama. Yang pertama, ia bisa melepaskan Dewi dengan alasan masih kuliah. Yang kedua, ia memutuskan Sarah dengan alasan belom punya pekerjaan tetap. Sekarang, ia kehabisan akal bagaimana memutuskan Tasya. Dan lagi ia tidak berani memutuskan Tasya karena pada dasarnya ia lelah hidup membujang.

“Ente berani bermain api padahal ente tau betul nantinya kalau bukan Tasya yang terbakar, abah umi ente yang terbakar”. Mendengar itu Fikri terhenyak.

“Sekarang tinggal pilih deh. Tasya, atau orang tua yang ingin ente bahagiain. Coba, ente lebih sayang siapa? Mata Fikri mulai berkaca-kaca. Melihat itu Bang Ali langsung diam. Kasihan sekali ini anak pikirnya. Sebetulnya masih banyak yang ingin ia katakan tapi rupanya Fikri tidak siap mendengarnya. Ternyata, di balik tubuhnya yang gagah, hatinya sangat rapuh.

“Al afu Kri. Ana gak ada maksud untuk nyudutin ente. Ya udah gini aja. Ente coba ngomong baik-baik sama abah-umi. Kalau mereka tetep gak ridho ente nikah sama Tasya, ya udah putuskan ia secara baik-baik. Beri ia pengertian tentang keadaan ente yang sebenarnya. Memang bakal sakit rasanya Kri. Butuh waktu untuk bangkit kembali. Tapi dengan sabar dan do’a, mudah-mudahan ente dan Tasya masing-masing dapet jodoh yang cocok dan memuaskan. Sebaiknya masalah ini cepat diselesaikan Kri. Jangan berkhayal akan ada moment yang tepat untuk bicara. Sekaranglah saat yang tepat. Karena semakin ente ulur-ulur waktu, semakin besar harapan Tasya ke ente. Semakin besar pula harapan abah-umi ente untuk segera nikah dengan syarifah.” Fikri mengangguk, “Doain ana ya bib”.

Pintu rumah seberang warung terbuka. Kak Balqis muncul dari balik pintu. Sambil membetulkan kerudungnya, ia berjalan ke arah warung. “Abang! Gulanya mana? Ditungguin dari tadi ternyata nongkrong di sini.”

“Oh iya! Al afu abang lupa. Ada Fikri nih di sini.”
“Bekher Kri?”
“Bekher Alhamdulillah Kak.”

Balqis membeli gula dan duduk di sebelah Bang Ali. Ia melihat kotak rokok di atas meja. Sambil memberikan senyum yang sangat manis ke suaminya, “Udah ngisap berapa batang hari ini?”

“Baru tiga batang” jawab Bang Ali sambil membalas senyum istrinya.
“Cukup dulu ya” Kak Balqis menyita kotak rokok, “Rokok itu gak bagus buat pertumbuhan sperma.”

Mendengar itu Bang Ali tertawa terbahak-bahak. Biasanya kata-kata umum yang sering diucap oleh wanita adalah “Rokok tidak bagus buat jantung” atau “Rokok tidak bagus buat paru-paru”. Ali selalu tertawa setiap kali mendengar komentar istrinya yang luar biasa. Baginya, segala perkataan dan kelakuan istrinya dianggap lucu dan menggemaskan.

“Hebat betul pasangan ini” pikir Fikri. Sudah 7 tahun mereka menikah tapi gelagatnya masih seperti pengantin baru. Padahal Kak Balqis berasal dari keluarga yang sangat kaya dan Ali berasal dari keluarga yang bisa dikatakan berada di bawah standar. Fikri melihat sendiri bagaimana perjuangan mereka untuk bersatu. Bang Ali banting tulang setiap hari untuk membangun bisnis kecil-kecilan. Kak Balqis dengan sabarnya menunggu sampai Bang Ali berhasil mengontrak rumah mungil di gang sempit ini.

Setelah menikah, mereka masih diberi ujian. Dengan penghasilan yang sangat kecil, Kak Balqis dengan sekuat tenaga beradaptasi untuk dapat hidup serba pas-pasan. Bang Ali pun bersabar atas masakan istrinya yang terkadang terlalu asin atau terlalu manis. Maklumlah, sangking kayanya, Kak Balqis dulu jarang sekali masuk dapur. Butuh waktu 6 bulan untuk bisa memasak sayur asem dengan rasa selayaknya sayur asem. Tapi sekarang Masya Allah… ia bisa masak macam-macam bahkan mahir membuat kue. Dan dua tahun belakangan ini bisnis Bang Ali mulai menunjukkan titik terang. Ia mempunyai 4 toko. Toko buku dan optik berada di bawah manajemennya dan 2 toko lainnya, toko kue dan batik pekalongan, ia biarkan Kak Balqis yang mengurusnya. Mereka dianugerahi dua anak kembar Hasan dan Husein, berusia 6 tahun, dan Aisyah, berusia 3 tahun. Bulan depan mereka akan pindah ke rumah yang lebih besar. Pasangan ini betul-betul saling melengkapi. Subhanallah… inikah yang disebut sebagai keluarga yang sakinah, ma waddah, wa rohmah?

“Fikri kok nongkrong di sini aja? Kenapa gak mampir ke rumah? Udah sombong ni yaah..” ujar Kak Balqis.
“Gak kok Kak. Cuma pikiran lagi kusut aja sekarang.”
“Loh, kenapa Kri?”
Bang Alipun menceritakan masalah Fikri ke istrinya.

Kak Balqis menghela nafas. “Biasa tu.. masalah klasik sayid dan syarifah. Cobaan para sayid jaman sekarang ini, di mata mereka, yang non-syarifah itu lebih menggairahkan, lebih terbuka, lebih agresif, dan sangat nyaman dijadikan pacar. Dan cobaan para syarifah itu, non-sayid itu lebih sabar, tidak tempramen, lebih berpendidikan, lebih mapan, lebih manis kata-katanya, lebih pengertian, hingga lebih nyaman dijadikan tempat berlindung.”

Kak Balqis menatap Fikri dengan tajam. “Menurut kamu pribadi nih Kri, seorang syarifah harus nikah dengan sayid gak?”
“Iya, harus” jawab Fikri.
“Kalau sayid?”
“Tidak harus”
“Kenapa begitu?” lanjut Kak Balqis.

Entah apa yang di pikiran Kak Balqis menanyakan sesuatu yang ia sudah tahu jawabannya, namun Fikri tetap menjawab.
“Karena laki-laki yang membawa keturunan, nggak masalah siapa yang dinikahinya.”
“Nggak masalah ya…” Kak Balqis menahan emosi.
“Iya”
“Kau ini punya pendirian gak sih?” tanya Kak Balqis agak meninggi. Fikri tersentak.
“Kau meyakini syarifah harus nikah dengan sayid tapi nggak sebaliknya, padahal kau tau di dunia ini jumlah syarifahnya lebih banyak dari sayid. Jadi, setiap sayid yang menikah dengan non-syarifah artinya ia telah mengorbankan satu syarifah. Daripada mereka menikah dengan non-sayid, kau lebih senang mereka mati perawan? Mana tanggung jawabmu sebagai seorang sayid? Apa ghirroh kesayyidanmu sudah padam?”

Wajah Fikri langsung memerah karena malu.
“Kalau kau masih juga mau menikah dengan Tasya, ahsan buang saja gelar sayidmu itu ke tong sampah. Gak usah yahanu bersyukur dilahirkan sebagai sayid deh”
Kali ini Fikri rasanya seperti ditampar. Kata-kata itu sungguh menyakitkan. Ia menahan sekuat tenaga agar air matanya tidak mengalir.

“Pah…cukup.” Bang Ali menegur istrinya. Kak Balqis langsung diam, namun matanya masih menatap Fikri dengan tajam. Wajar saja ia emosi. Ia punya banyak adik perempuan, keponakan, misan dan saudara perempuan yang belum menikah padahal sudah cukup umur. Hatinya jadi tambah khawatir memikirkan bagaimana nasib anak perempuannya kelak padahal saat ini umur Aisyah baru 3 tahun. Belom apa-apa sudah jadi beban pikiran..

“Kri..” Bang Ali bertanya “Ente tau kenapa abah ente keras sekali mengharuskan semua anaknya, yang laki-laki maupun perempuan, untuk nikah sekufu?” Fikri tidak menjawab.
“Sebetulnya itu merupakan salah satu wujud kecintaan abah ente terhadap Baginda Muhammad SAW”. Fikri tertegun.
“Tau gak, saat kakak ente nikah dengan non-sayid, abah ente nangis tiap malam sampai berhari-hari. Watak abah ente sangat keras tapi sebetulnya hatinya sangat lembut. Ntar, kalo ente udah punya anak, barulah ente bisa ngerasa betapa lembutnya hati seorang ayah.”

Fikri menunduk. Tenggorakannya terasa perih.
“Kakak kenalin dengan syarifah mau gak Kri? Ada banyak stok nih”, ucap Kak Balqis serius.
“Siapa Pah?” tanya Bang Ali.
“Ada Nasywa, Sabina, Cici, Mona, Rugaya, banyak deh”.
“Wah… ana udah kenal mereka, tapi jarang ngobrol sih..” ucap Fikri.
“Terus? Belom ada yang menarik hati? Ntar kakak carikan yang lain deh” ujar Kak Balqis meyakinkan.
“Bukan… mereka terlalu tinggi buat ana.”
“Terlalu tinggi gimana?” tanya Bang Ali penasaran.
“Nasywa terlalu pintar. Ia sudah S2 sedangkan ana cuma S1. Sabina terlalu baik, sedangkan ana bandel dan sembrono. Lalu..Rugaya dari keluarga yang kaya dan terpandang….”
Bang Ali dan Kak Balqis saling memandang. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.

“Ya Allaaahhhh Fikriiiiii” keluh Bang Ali. “Pengecut kali ente! Belom apa-apa udah minder duluan. Masa ama harim takut? Ente rejal bukan sih? Coba ente kenalan dulu lebih mendalam. Siapa tau mereka bisa nerima ente apa adanya. Jangan menyerah dulu sebelum berperang”. Bang Ali merangkul istrinya dan berkata ke Fikri “Ente gak liat nih contoh konkrit?” Kak Balqis tersenyum. “Harim ana ini bisa terima ana apa adanya padahal dulu ana kere-nya luar biasa.”

Fikri tersenyum. Ada sedikit rasa iri melihat kemesraan mereka. Ia ingin sekali bisa seperti itu kelak.
Pintu di seberang warung kembali terbuka. Kali ini si kembar yang keluar.
“Abah!” teriak Husein.
“Lebaik!”
“Ayo, katanya mau maen bola!” sahut Hasan.
“Ayo! Balas ayahnya. “Abah ambil bola dulu ya?” Sambil bangun dari tempat duduknya, Bang Ali bilang “Kri, ke rumah ana dulu sebentar”.

Bang Ali menyerahkan 3 buku ke Fikri. “Baca ini dulu Kri” sambil menunjuk buku tentang sejarah Nabi Muhammad SAW. “Dijamin kecintaan terhadap Rasulullah akan bertambah bagi siapa saja yang membacanya insya Allah. Dibaca ulang terus juga ente gak akan bosan.”

Buku lainnya yang diterima Fikri adalah kumpulan doa-doa, wirid, ratib, dan maulud. Dan satu lagi tentang biografi seorang habib zaman dahulu yang terkenal beserta ajaran dan kata-kata mutiaranya.
Saat Fikri pamit, Bang Ali berkata, “Besok ikut ana hadir maulid. Setelah itu kita keliling ziarah dan silaturrahmi ke habib-habib yang dituakan. Mudah-mudahan dengan begini ente kembali ke ajaran salaf.

Sambil berjalan menuju rumahnya, Fikri kembali mencerna kata-kata Bang Ali dan Kak Balqis. Kali ini ia biarkan air matanya yang sejak tadi ditahan sekuat tenaga mengalir deras di pipinya. Air matanya terasa panas. Fikri bertanya pada dirinya sendiri, “Apa benar semangat kesayyidanku telah padam?” Ia jadi merinding dan ketakutan. Kedua tangannya mengusap wajahnya dan menarik nafas dalam-dalam. “Besok aku akan ikut Bang Ali”, tekadnya.

Oleh: Syarifah Intan Agil Al-Attas