20 Januari 2010

Pemimpin Berhati Nurani, Ku Merindumu

Sungguh miris melihat beberapa peristiwa yang terjadi di negeri ini belakangan ini. Kemiskinan, pembunuhan, KKN selalu menghiasi pemberitaan  di televisi.

Beberapa hari yang lalu, Seorang ibu di Depok, batinnya hancur lebur, nuraninya sebagai seorang ibu hilang karena dia menelantarkan empat anaknya di sebuah tempat. Bahkan ada seorang ibu di Nias, nekat membunuh 3 anaknya. Kemiskinan akut, jadi pemicu orang tua itu, melakukan tindakan nekat dan sadis tersebut. Mungkin banyak kasus-kasus  serupa yang kerap kita lihat di sekitar tempat kita tinggal. Tak harus menunggu muncul di berita untuk melihat realita getir ini. Saat kaki kita melangkah keluar pintu rumah pun, jika nuranl kita hidup, cerita pilu masyarakat kecil itu amatlah tampak.

Pada saat yang sama, tak sulit pula kita melihat keadilan penguasa yang timpang. Dana 6,7 triliun, yang begitu mudah diberikan pada bandit Century, salah satu faktanya, tak jelas dimana pengekan hukumnya. Di sisi lain, ketika seorang rakyat kecil tak berdaya menghadapi tuntutan hukum yang ditimpakan padanya karena melakukan sesuatu yang menurut saya sangat mudah untuk dimaafkan oleh orang-orang berhati nurani tetapi justru dihukum dengan tuntutan yang mengada-ada seperti  yang dialami seorang nenek karena kedapatan mencuri 3 buah Kakao.  Sungguh timpang hukum negara ini, bandit membawa uang 6,7 T didiamkan begitusaja, tak jelas arahnya sampai sekarang tetapi seorang rakyat kecil, yg mencuri buah cokalat seharga 223.333.333,3333 kali lebih kecil dari uang century begitu mudahukum negara kita memvonis.

Kenyataan baru yang tak menunjukkan empati sama sekali, saat pemerintah membelikan mobil mewah untuk menteri senilai Rp. 1,3 milyar. Kita semua serasa begitu ditohok, diperas,  akan kebijakan yang begitu anti kemanusiaan itu. Ongkos untuk memenuhi nafsu kekuasaan, birokrat dan pejabat di negeri ini sudah sangat kelewat mahalnya. Rakyat harus membayar untuk kemewahan hidup pejabat negara. Sebaliknya, mereka tidak cukup bukti menunjukkan kinerja dan pengabdian yang hebat. Kecuali, tabiat baru yang gemar mengiklankan diri di media massa, tentang apa mimpinya, bukan apa yang telah dikerjakannya.

Kebebalan meraba nurani ini, tak pelak dapat memicu kemarahan kelompok masyarakat yang putus asa. Koin untuk Prita Mulyasari misalnya, sebuah gerakan rakyat jelata yang melawan ketidakadilan penguasa. Fenomena semacam ini, mungkin akan terus tumbuh subur selama penguasa masih berhati batu. Seorang warga di Madiun,nekat menusuk  Bupatinya, lantaran tak puas dengan pemimpinnya itu ada juga seorang Ibu yang membakar kendaraan dinas perwira tinggi kepolisian, karena kasusnya yang tak kunjung usai.

Menuruti emosi, dalam ketidakadilan yang timpang ini, ibarat sumbu pendek. Mudah marah dan mengamuk. Orang lemah bingung mengadu dan tak tahu kemana berkeluh kesah. Untuk meredam ledakan ketidakadilan ini, kiranya ada peluruh hati yang dapat membentengi diri. Yaitu hati nurani, ya Pemimpin yang memiliki hati nurani terhadap rakyat-rakyatnya, pemipmin yang berhaati nurani niscaya mampu menahan diri untuk tidak mengambil semua yang bukan haknya dan selalu menjauhi hal-hal yang dilarang agama. tidak akan dengki terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Senantiasa peduli pada rakyat kecil dan lebih mengutamakan kepentingan rakyat dibanding kepentingan dirinya sendiri.

Akhirnya, relakah pemerintah tak melulu memfasilitasi kemewahan pada pejabat dan birokrat tanpa peduli akan hak-hak rakyat kecil, sementara masyarakat miskin selalu diam tak berdaya? Sungguh, negeri ini amat merindu para pemimpin yang berhati nurani. Jika ingin Negara ini berubah lebih adil dan baik.