19 Oktober 2009

Ala' Hani, Si Bocah Surga

Dia masih bocah, usianya belum genap 14 tahun. Tapi keganasan Yahudi telah menghantarkan jiwanya menemui Rabbnya. Bacah yang selalu mengusung cita-cita tanah airnya ini dibunuh dengan darah dingin oleh pemukim Yahudi. Dia adalah Ala’ Hani.

Tidak seperti biasanya, hari itu Ala’ bangun tidur pagi-pagi sekali. Beberapa saat kemudian dia menemui ibunya dan menciumnya. Kemudian dengan agak tergesa-gesa dia ganti pakaian. Sebelum keluar rumah, dia minta ibunya untuk mendoakannya dan menjaga adik-adiknya yang masih kecil. Dia juga minta kepada ibunya agar menyampaikan salam kepada sang ayah yang telah mendahuluinya pergi berangkat kerja pagi-pagi.

Selepas dzuhur, kerumunan massa telah berkumul di depan rumah keluarganya di desa Bitin sebelah timur kota Ramallah. Mereka memberitahu ibu Ala’ bahwa anaknya terluka dalam aksi demo yang memprotes pembangunan tembok pemisah rasial yang dibangun Israel di atas tanah warga Palestina di kawasan tersebut. Namun diluar dugaan, sang ibu justru menjawab, “Ala’ tidak terluka, saya yakin dia telah gugur syahid…”

Hari itu, setelah keluar dari pintu sekolah di mana dia belajar, Ala’ bertemu dengan sekelompok pemuda Palestina di antaranya mereka ada teman-teman sekolahnya. Mereka bertolak ikut demonstrasi menentang pembangunan tembok pemisah rasial yang menggusur tanah desa mereka, tidak terkecuali tanah keluarga Hani, yang telah diduduki penjajah Zionis Israel secara total.

Sejak kecil, menurut anak pamannya, Ala’ yang duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama, ini sering ikut berbagai kegiatan nasonal di kotanya. Dia memiliki semangat revolusi yang tinggi. Memiliki kepribadian yang kuat dan pemberani. Sampai-sampai seorang gugur yang hadir dalam ta’ziah menyampaikan sambutan, sungguh Ala’ lebih tua dari usia yang sebenarnya. Dia bisa memikirkan berbagai persoalan yang tidak pernah terpikirkan oleh orang dewasa sekalipun.

Khaled, salah seorang teman dan sepupu Ala’ mengungkapkan kata-kata yang mungkin sulit untuk dipercaya. Khaled mengatakan, “Tak seorang pun dari keluarga yang percaya bahwa kami tidak akan melihat Ala’ sekali lagi. Dia adalah bocah yang dicintai oleh semua keluarga. Sekiranya tidak demikian, pastilah dia tidak mendapatkan syahadah (mati syahid)…Dia kini telah di syurga dan Allah akan meneguhkan kesabaran kami serta mengantikannya dengan yang lebih baik, InsyaAllah.”

Kisah kesyahidan Ala’ bemula dari aksi demo hari itu. Menurut Khaled, saat tengah berlangsung aksi demo secara damai untuk menentang pendirian tembok pemisah rasial Israel, kewat seorang pemukim Yahudi dengan mengendarai mobil dan langsung melancarkan serangan tembakan secara tiba-tiba kepada para demonstran.

Akibat aksi brutal teroris Yahudi ini, seorang perserta demo bernama Ahmad terluka. Melihat hal itu, Ala’ langsung menolong rekannya itu. Namun tiba-tiba teroris Yahudi tadi kembali melancarkan serangan tembakan secara sengaja dan mengenai Ala’ yang syahid seketika itu juga, karena timah panas mengenai bagian tubuh yang mematikan. “Saya tidak tahu, bahaya apa yang bisa diciptakan oleh bocah semacam Ala’ terhadap keselamatan teroris Yahudi yang melengkapi dirinya dengan senjata pembunuh modern sementara dia sendiri di dalam mobil?!!”

Ala’ tinggal dalam keluarga yang terdiri dari 4 orang anak dan dua orang tua. Dia sendiri adalah anak tertua. Khaled mengatakan, “Setelah ditinggal Ala’, keluarganya hidup dalam Susana susah, ibunya mengalami shack dan tidak bisa berbicara dengan siapapun.”

Mengenai kalimat terakhir yang diucapkan putranya, Ummu Ala’ menuturkan bahwa setelah memakai pakain baru dan bersiap-siap, berbeda dengan biasanya, kemudian menciumnya. Saat itu Ummu Ala’ sempat bertanya kepada putranya, “Kenapa engkau melakukan itu? Ala’ menjawab, “Semua orang harus mencium ibunya di pagi hari, dan harus bersyukur kepada Allah kerena telah diberi seorang ibu…” Setelah itu, ungkap Ummu Ala’, putranya berpamitan pergi ke sekolah dan minta didoakan untuknya.

Impian terbesar bagi Ala’ adalah bagaimana membebaskan tanahnya yang dirampas pasukan penjajah Zionis Israel untuk mendirikan tembok pemisah rasial. Khaled mengatakan, “Dia selalu memimpikan tanahnya kemabli. Pada suatu kesempatan, kala itu musim petik buah zaitun, pagi-pagi dia berkata kepada ibunya dengan keras, kita dilarang punya zaitun sebagaimana yang dimiliki semua makhluk dan manusia. Alangkah buruknya selama saya masih hidup kondisinya seperti ini.”

Untuk itulah, setiap ada kesempatan demonstrasi yang dilakukan secara berkala di kotanya, Ala’ tidak pernah melewatkan kesempatan itu, guna memprotes pembangunan tembok pemisah rasial yang melibas lebih dari sepertiga tanah pertanian di desanya, Bitin, termasuk tanah keluarganya sendiri.

Akibat aktivitas pembangunan tembok pemisah rasial di timur kota Ramallah, Tepi Barat, ini sejumlah rumah warga terisolasi dari kota. Para pendudukanya dilarang mengunjungi kerabat mereka yang jaraknya beberapa meter saja, itu karena adanya tembok yang memisahkan bagian-bagian kota secara total.

Menurut Khaled, hal yang sangat menyakitkan bagi Ala’ adalah manakala dia tidak bisa mengunjungi sepupunya yang terisolasi di balik tembok rasial ini, yang belakangan ini hidup dalam tekanan yang luar biasa karena kondisi umum yang ada saat itu. Ala’ adalah seorang bocah yang memiliki empati tinggi dan tidak bisa menahan kedzaliman, meski itu dari orang-orang terdekatnya, terlebih bila kedzaliman itu dari orang-orang yang melibas tanah dan impiannya??