23 September 2009

Sikap Kita Terhadap Fatwa Haram Facebook

a. Anggap saja itu warning dari guru dan orangtua bahwa Facebook ada juga sisi negatifnya, yang kalau dibiarkan tumbuh, akan menjadi susah diatas lagi. Maka, perhatikan atau minimal waspada terhadap sisi negatif ini. Istilahnya, anggap saja ini adalah nasihat dari guru dan orangtua yang meyayangi kita. Sehingga kita tidak kehilangan rasa hormat dengan kiai, juga tidak bingung soal keputusan haram dan tidaknya.

b. Bahwa dasar pelarangan itu berlaku juga ketika kita sendiri melanggar. Di antaranya, tidak tahu waktu. Banyak hal kesia-kesiaan yang sebenarnya tidak pentung tapi dikerjakan, sebab mudahnya berkomunikasi lewat Facebook. Akhirnya, wajtty yang mestinya produktif jadi tidak produktif. Saya kasih contoh, makan sate pinggir saja diberitakan ke mana-mana, Tidak penting. Okelah itu masih oke; Bagaimana kalau kemudian lagi nonton di bioskop yang filmnya jelas-jelas mempertontonkan aurat, lalu di-share ke mana-mana.

c. Hal lain yang menjadikan dilarang adalah berpeluangnya Facebook untuk mencaci, menjelek-jelekkan, memfitnah, dan menebar berita buruk. Sekali lagi, ketika hal yang dilarang ini justru kita yang memakai, Facebook itu jatuhnya haram untuk kita. Seperti makan, makan kan boleh, tapi kalau berlebihan ya jadi haram.

d. Hendaknya Facebook benar-benar dijadikan satu kebaikan buat kita, buat silaturrahmi yang berguna, tukar-menukar inforasi berguna, buat dakwah, buat dagang, buat kerja dan usaha , dan yang baik-baiklah. Supafa facebook yang sebenarnya mubah atau boleh tidak berubah menjadi haram.

e. Jadi, keharamannya mengikuti perilaku. Bagi saya andai benar alim ulama mengharamkan (tertulis), tidak ada pilihan kecuali sami’naa wa atha’naa. Nyari keberkahan saja. Toh, kita tidak mati juga dengan tidak adanya facebook. Cuma kan sekarang belum ada bentuk pelarangan tertulus. Baru bersifat imbauan teknis untuk tidak menyalahgunakan Facebook atau yang sejenisnya.