14 September 2009

Kemerdekaan Kita Milik Siapa ???

Ini sebenarnya kisahku 4 tahun silam, aku tiba-tiba teringat kejadian ini pada hari kemerdekaan bulan lalu, kejadian ini terjadi pada 17 Agustus 2005. Di hari itu di saat rakyat Indonesia merayakan hari yang mereka sebut dengan hari kemerdekaan dan seperti biasa mereka sambut dengan menyelenggarakan upacara bahkan dengan pesta-pesta perlombaan, yang sebagian mereka menyebutnya sebagai tradisi. Tapi aku lebih menyebutnya pesta pora, tanpa ada renungan terhadap jasa para pahlawan. Apa Artinya sebuah perayaan kemerdekaan apabila hanya untuk lomba-lomba yang tidak akan membawa manfaat seperti mengajak rakyat untuk menghargai jasa para pahlawan atau setidaknya tahu jasa pahlawan atas kemerdekaan Indonesia, Siapa sajakah mereka, apa jasa-jasanya. Aku yakin para peserta lomba kenerdekaan di negeri ini akan “kelabakan” menjawab pertanyaan yang seharusnya sangat mudah bagi kita yang katanya bertanah air satu, tanah air Indonesia. Sayapun berkesimpulan lomba-lomba tersebut hanyalah akan membakar uang belaka tanpa ada manfaat bagi rakyat. Alangkah baiknya apabila uang yang digunakan untuk mengadakan "pesta pora" kemerdekaan itu kita kumpulkan untuk rakyat kita yang belum beruntung dan menyelenggarakan acara-acara yang jauh bermanfaat seperti renungan kemerdekaan. Ini jauh lebih bermanfaat.


Oke, sekarang kembali ke kisah tadi, kejadian ini bermula saat aku akan pulang seusai upacara bendera di Alun-alun Kotaku, kebetulan Kelasku dulu (ketika itu masih sekolah di MAN 2 Banjarnegara kelas 3) ditunjuk untuk mengikuti upacara di Alun-alun, ketika itu aku melihat sosok wanita tua yang lebih pantas untuk kupanggil nenek dan kulihat sang wanita tua itu berjalan perlahan dan nampak terlihat letih dari wajahnya berjalan perlahan memikul barang dagangan yang amat berat kurasa jika di pikul oleh sang wanita tua tersebut. Wanita tua itu berjalan di antara mereka yang sedang merayakan pesta hari yang di bernama kemerdekaan. Aku rasa hari itu lebih pantas di rayakan oleh sang wanita tua tersebut. Karena aku sangat yakin sang wanita tua itu pasti telah merasakan penderitaan yang tidak pernah kita rasakan di mana saat negara ini belumlah merdeka dan hatiku bertanya mengapa wanita tua yang telah merasakan pedihnya hidup di masa itu namun tidak dapat merayakan hari kemerdekaannya.


Lama mataku tertuju kepadanya. Entahlah mungkin sang wanita tua itu tidak bisa merayakan ini semua karena ada hal yg lebih penting baginya. Aku rasa sesuap nasi yang dia cari untuk hari ini dan esok hari jauh lebih penting ketimbang hari kemerdekaan yang di rayakan oleh sebagian bangsa ini lalu hati ku bertanya apakah pantas bagi bangsa ini merayakan semua ini?

Aku yakin hampir semua yang merayakan semua ini tidak pernah merasakan pedih nya penderitaan di masa penjajahan itu namun mengapa bangsa ini dengan bangga merayakan kemerdekaan di atas penderitaan sang wanita tua atau bahkan aku yakin presiden kita sekarang sekalipun tidak merasakan pedihnya hidup di masa itu. Namun sang wanita yang kuyakini telah merasakan pedihnya hidup di masa itu tidaklah dapat marasakan hari kemerdekaannya.


Hatiku berkata bukankah lebih pantas ini semua di rayakan oleh sang wanita tua ketimbang aku, mereka atau bahkan Presiden kita sekalipun yang merayakannya.

Mungkin penggalan kisahku tadi bukan satu-satunya kisah yang menyiratkan sebuah pertanyaan “Kemerdekaan Indonesia milik siapa???”. Masih ada anak kecil turun ke jalanan membaur di sela-sela barisan mobil mewah menunggu lampu merah mati. Berpakaian lusuh dengan tatapan kosong. Anak-anak penerus generasi sedang mengamen demi sesuap nasi, meminta-minta ke sana kemari. Hidup bagai beralaskan hangat bumi, teriknya mentari bernafaskan udara panas akibat pencemaran asap BMW konglomerat negeri ini.

Pedagang pinggiran dengan susah di sertai kesabaran yang tinggi. mencari nafkah buat anak dan istri lalu tiba-tiba harus mati-matian mempertahankan lapaknya dari amukan aparat Satpol PP. Rumah-rumah kumuh tempat istirahat di buldozzer paksa oleh pihak berwenang dengan surat yang kadang-kadang gak jelas asal-usulnya.

Sungguh malang nasib rakyat kecil, ketika pejabat berebut kursi dengan manis seribu janji saat kampanye, rakyatpun dijadikan amunisi. Setelah dapat kursi, selalu saja menjadi kulit kacang yang lupa akan kulitnya dan rakyat kecilpun gigit jari.


Kemerdekaan di negeri ini. Tak ubahnya suatu kemerdekaan yang hanya bayangan semu. Atau merdeka hanya untuk kalangan menengah ke atas. Dan rakyat pun harus kembali gigit jari.

Sadarkah kita? Tuhan perintahkan laut tuk menegur kita dengan tsunaminya. Sadarkah kita? Tuhan perintahkan bumi tuk menegur kita dengan gempanya. Sadarkah kita. Allah perintahkan angin untuk menegur kita dengan taupannya? Ternyata kesadaran itu cuma kiasan semu. Hingga sampai detik ini. Telinga ini pun lelah mendengar suara-suara dalam bentuk kecurangan, ketidakadilan, penindasan dll.

Kejadian rakyat ketahuan mencuri seekor ayam. Akibatnya pun di sepak di terjang. Sampai babak belur. Setelah itu bui pun dengan senang hati mengandungnya berbulan-bulan. Lalu mengapa pejabat yang korupsi uang rakyat berjumlah miliaran? Tidak terjadi apa-apa? Sungguh terasa mulut ini bersalah jika berucap merdeka. 

Ya Allah di manakah mata bangsa ini yang membiarkan pejuang yang meneteskan darah demi bangsa ini namun harus hidup susah dan menderita bahkan harus mecari sesuap nasi di hari kemerdekaan yang seharusnya dia rayakan, kehidupan layak yang di rasakan bangsa Indonesia sekarang ini berkat tetesan darah dari pejuang kita.

Ya Allah bukakanlah mata bangsa ini untuk dapat menghargai para pahlawan yang mengorbankan semua untuk bangsa ini namun dengan mata yang buta bangsa ini membiarkan mereka menderita di hari kemerdekaannya.