17 Juni 2011

Ketika Curang Menjadi Tradisi

Alangkah lucunya negeri ini. Seorang ibu di Surabaya yang membongkar perbuatan curang saat ujian nasional sekolah dasar justru dituduh mencoreng nama baik sekolah. Ia pun diusir oleh wali murid lain dari rumahnya. Tragedi ini menunjukkan ada yang tak beres dengan masyarakat, bahkan bangsa, ini.

Kita semestinya bangga akan Siami, ibu yang berani mengungkapkan praktek lancung di sekolah anaknya itu. Tindakan wali kelas yang memaksa sang anak membocorkan jawaban ujian nasional kepada teman-temannya jelas tak bisa dibenarkan. Guru seharusnya memberi teladan yang baik, bukan sebaliknya.

Orang tua murid semestinya justru mendukung langkah Siami. Bila perlu, mereka ramai-ramai melaporkan kebobrokan sekolah kepada pengawas sekolah, dinas pendidikan, bahkan kepolisian. Tak ada tuntunan moral dari mana pun yang bisa dijadikan rujukan untuk membenarkan tindakan sang guru ataupun sekolah tersebut.

Praktek tercela itu justru harus dilawan, bukan sebaliknya dibela. Untuk apa kita mendidik anak sejak kecil agar ”selalu jujur, tak berkata bohong, dan percaya kepada diri sendiri” jika pada akhirnya orang tua sendirilah yang mengkhianatinya. Buat apa pula kita mempercayakan pendidikan anak kepada sekolah jika pada akhirnya sekolah itu justru menjerumuskan masa depan sang anak.

Kecurangan yang dipromotori sekolah dan disetujui orang tua seperti itu tak hanya terjadi di Surabaya. Di sebuah sekolah dasar di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, misalnya, kasus serupa juga muncul. Praktek yang sama terjadi pula di sekolah menengah di beberapa daerah.

Fenomena yang selalu berulang setiap tahun itu amat memprihatinkan. Sekalipun ujian nasional tak lagi menjadi penentu kelulusan siswa, masyarakat dan sekolah tetap mengejar kebanggaan yang semu. Mereka ingin sekolah atau daerahnya dianggap berprestasi, dengan menghalalkan segala cara.

Perilaku seperti itu menggambarkan masyarakat yang takut bersaing secara fair. Kebanggaan semu telah mengalahkan nilai kejujuran. Jangan-jangan inilah wajah sebenarnya sebagian bangsa kita. Masyarakat lebih menghargai orang yang kaya kendati korup dibanding orang yang jujur dan sederhana.

Semula, sebagian di antara kita masih optimistis penyakit bangsa seperti itu akan terkikis melalui sistem pendidikan yang lebih baik. Tapi munculnya fenomena kecurangan massal membuat harapan itu mengempis. Dunia pendidikan ternyata belum mampu menjadi benteng peradaban di negeri ini.

Itulah tugas berat pemerintah, para pendidik, juga kita semua. Tak cukup mengutuk dan memberikan sanksi berat bagi guru dan sekolah yang memotori perbuatan curang, pola pengajaran perlu pula diperbaiki. Pendidikan kita, yang cenderung hanya mencekoki siswa dengan pengetahuan, harus diubah. Sekolah-sekolah mesti berupaya keras membentuk murid-muridnya menjadi orang yang berintegritas, termasuk menjunjung tinggi kejujuran.

Kelulusan siswa pun mestinya juga diukur dari aspek itu, bukan sekadar dari kemampuan menganalisis, apalagi menghafal. Hanya dengan perubahan yang signifikan, kita masih bisa berharap pendidikan bisa mengubah bangsa ini menjadi lebih beradab.