27 November 2010

Pelajaran Dari Bencana Merapi

Sudah berkali-kali negeri ini ditimpa bencana yang tiada hentinya, bahkan silih berganti. Ratusan ribu orang jadi korban dan menyebabkan kerugian negara dengan jumlah yang bisa dikatakan "tak terhitung".

Frustasi. Satu kata yang bisa menggambarkan perasaanku melihat kenyataan ini. Betapa Tidak, ditengah kondisi tersendatnya pembangunan karena negara sedang dilanda masalah moneter, bencana silih berganti menghancurkan jerih payah kita, dan akhirnya kita kembali ke titik nol lagi untuk memulai semuanya dari awal kembali. Frustasi inilah yang selalu kurasakan tiap bencana hadir "bertamu" di negara ini, hingga akhirnya bencana meletusnya gunung Merapi beberapa waktu lalu menyadarkanku akan kebesaran ALLAH, bahwa setiap musibah pasti ada hikmahnya. 

Aku sadar ini bukanlah saatnya kita meratapi semua musibah ini karena itu semua tidak ada gunanya sama sekali, ibarat nasi sudah jadi bubur, apa hendak diperbuat untuk mengembalikannya menjadi nasi, tidak bisa, tapi alangkah baiknya apabila kita mengelola bubur tersebut agar bisa kita makan, dibuat bubur ayam atau apapun yang penting bisa disantap tanpa mengurangi rasa. Begitulah ketika bencana terjadi, jangan frustasi, tapi sebaiknya kita melakukan menajemen pasca bencana dengan baik untuk menyelamatkan para korban dan membantu meringankan beban mereka, sebagaimana pengalamanku saat menjadi relawan di Stadion Maguwoharjo, ada ratusan ribu pengungsi disana yang membutuhkan uluran tangan kita. Mereka sama sekali tidak membutuhkan rasa frustasi atau keputusasaan kita. Jadi tak ada gunanya kita berputus asa terhadap musibah yang datang. Dan sungguh apa yang yang terjadi di lapangan memberikanku banyak pelajaran hidup, mulai dari banyaknya relawan yang berkerja keras demi keselamatan dan kebutuhan para pengungsi tanpa mengharap balas budi, "gerakan nasi bungkus" yang dilakukan oleh para ibu di Yogyakarta dan sekitarnya yang berhasil membuat ratusan ribu nasi bungkus dalam 3hari sungguh angka yang fantastis bukan? hingga presiden kita pun sempat makan siang dengan nasi bungkus bersama para pengungsi (aku terharu melihat ini, sungguh bencana telah mendekatkan semua pihak yang sebelumnya mungkin mustahil untuk dipikirkan di pikiran kita) hingga aksi para pengamen yang melakukan pengumpulan sumbangan di kereta api sampai terkumpul uang 5 juta dalam beberapa jam saja, serta masih banyak peristiwa lain yang kulihat selama bencana merapi terjadi. Semua begitu ikhlas dengan spirit yang sepertinya tiada habisnya untuk membantu sesama. 

Semua hal ini yang menyadarkanku, bahwa kemakmuran, kekayaandan kemenangan bukanlah saat kita berhasil membangun negara yang kuat, bukanlah dengan membangun banyak gedung pencakar langit, dan bukanlah saat negara berhasil mencapai prestasi terbaiknya, bahkan bukan saat kita berhasil memperoleh semua yang kita inginkan dalam hidup ini. Tetapi justru kemenangan ini kita peroleh saat kita kita dapat menghadapi masalah (bencana), saat kita bersama-sama dapat mengatasi musibah yang terjadi, Saat kita mampu bangkit dari keterpurukan, saat dimana kita berada dalam kondisi yang sangat sulit tetapi kita mampu bangkit kembali dan kemenangan terbesar adalah saat kita mempunyai rasa solidaritas yang kuat tanpa memandang siapa kita dan siapa "mereka". 

Bencana bukan saatnya kita meratapi, frustasi inilah saatnya kita dapat belajar dari ini semua, karena dibalik semua ini pasti ada sebuah cahaya cerah menghampiri kita, cahaya hikmah, cahaya yang akan menuntun kita menuju kehidupan baru yang lebih baik untuk kita dan untuk sesama. Yogyakarta pasti akan kembali, kembali bangkit, karena kota ini begitu istimewa. Jogja pasti kembali. Terima kasih atas segala pelajaran berharga ini.

Semoga Allah membalas semua amal para relawan yang telah  berjuang untuk sesama dan semoga Allah senantiasa melindungi kita dari segala bencana.