Saya selalu berdecak kagum dalam hati, ketika bertemu orang dengan titel Profesor didepan namanya. Bagaimana tidak? Gelar itu bukan dianugerahkan kepada anda hanya semata - mata karena anda pintar. Otak yang encer saja tidak akan pernah bisa menempatkan gelar itu didepan nama anda, apalagi kuliah pura - pura yang belakangan menjamur dengan tujuan menaikkan derajat seseorang dibidang ilmu. Butuh perjuangan untuk mencapainya, dan sebagian besar bentuk perjuangan itu bernama pengabdian. Menulis buku, mengajar mahasiswa, menuangkan buah pikir kedalam jurnal ilmiah, menjadi pembicara di seminar. Mengapa semua hal diatas disebut pengabdian? Karena saya ragu anda bisa kaya dengan menjalankan itu semua. Apalagi Kita tahu sendiri, bagaimana sistem kompensasi lahiriah untuk para praktisi dunia pendidikan di negeri ini. Hebatnya, dengan kerja keras menuntut ilmu pada pendidikan tinggi sampai belasan tahun lamanya, para profesor ini tidak terpancing untuk cari duit sebanyak - banyaknya dengan bekerja pada kapitalis, malah ikhlas menghabiskan waktunya untuk membuat orang lain tambah pintar, bahkan jadi kapitalis baru. Itu profesor, bagaimana kemudian dengan nasib seorang guru? Adakah kita sebagai orang tua rela bahkan memotivasi anak - anak kita untuk menjadi guru, dengan kesadaran bahwa penghasilan yang akan mereka terima tak akan mungkin mengantar mereka mampu membeli rumah mewah misalnya, atau mengendarai Lexus keluaran terbaru.
Dengan mengarah profesor dan guru diatas, saya sesungguhnya tidak bermaksud menulis soal dunia pendidikan. Saya hanya mencoba menginduksinya, untuk bercerita soal substansi dari arti kata pengabdian. Naif sepertinya, bahkan klise barangkali menyoalnya dikehidupan dunia seperti yang terlihat didepan mata kita saat ini. Bahkan saya tidak mau mungkir untuk mengatakan saya sendiri belum mampu to walk the talk. Tetapi jujur, saya resah berulangkali, ketika berpikir soal Muhammad, Gandhi, Theresia, Mandela, Hatta, Guevarra dan masih banyak lainnya. Bagaimana mereka begitu konsisten menjadi abdi dari cita - citak luhur, yang mungkin nilai dan kualitas keluhuran itu sendiri, tidak menjadi landasan awal atau alasan utama kerja mereka. Tidak ada kepura - puraan, hipokrasi dan penghianatan dari ide yang mereka pegang teguh dan kemudian dijalankan, meski tak jarang menyakiti mereka sendiri. Bagaimana perjalanan melaksanakan kata - kata mereka lakukan dengan jujur, murni dan tanpa syarat. Sebuah persetubuhan sempurna nan sakral dari apa yang dipikirkan, dirasakan, diucapkan dan dikerjakan.
Kawan, setujukah anda jika saya mengatakan “Pekerjaan yang dilakukan untuk banyak orang, sehingga banyak orang itu memperoleh manfaat lebih jika dibanding si pelaku” adalah terjemahan polos dan mendasar dari apa yang disebut pengabdian? Atau konteksnya bahkan ketika si pelaku tidak berniat mendapatkan apa - apa dari kerjanya itu, meski itu semata - mata hanya pujian belaka? Entahlah, tapi faktanya, para orang hebat yang saya sebut tadi telah melakukannya. Pertanyaannya kini, jika jawabannya ya, terbayangkah seberapa luas bagian hati yang harus disediakkan guna mengikhlaskan jiwa-raga dalam melaksanakan kerja bernama pengabdian itu?
By: Alfito Deannova