27 November 2008

Aku Sebagai Mahasiswa Farmasi Di Indonesia

Sampai saat ini saya kadang masih merasa telah membeli kucing di dalam karung, setelah dua tahun menjalani hari-hari sebagai mahasiswa farmasi, walaupun saya tidak terlalu kecewa karena saya menyukai kucing. Andaikata yang berada di dalam karung adalah Cristiano Ronaldo, pasti saya akan sangat depresi.

Seakan-akan saya telah menginvestasikan masa depan saya di tempat yang salah. Harusnya saya menjadi mahasiswa kedokteran saja, biar cepat menjadi kaya, atau menjadi mahasiswa teknik perminyakan seandainya saya pria — andaikata ROI dari pendidikan diukur dengan materi. 

Di manakah langkah seorang mahasiswa farmasi akan berhenti? Jawabannya tentu di liang lahat.

Tetapi sebelum sampai ke liang lahat, seorang mahasiswa farmasi akan lulus sebagai sarjana farmasi, kalau ia beruntung tidak di-DO. Setelah lulus sebagai sarjana farmasi, sebagian akan mengambil program profesi apoteker, apabila ia beruntung memiliki rezeki. Setelah lulus, ia akan bekerja, andai ia beruntung mendapatkan pekerjaan.

Menurut Anda, seseorang dengan gelar S.Far, Apt. di belakang namanya, akan bekerja sebagai apa? Jika Anda menjawab apoteker, jawaban ini mungkin menempati posisi pertama dalam survey Famili 100. Dalam kenyataannya, para mahasiswa farmasi di Indonesia masa kini banyak yang memandang sebelah mata terhadap profesinya sendiri.

Di jurusan (eh, maaf), prodi saya sendiri, sebagian besar teman-teman saya menjawab mereka menginginkan pekerjaan di industri farmasi setelah menamatkan program profesi apoteker mereka. Daripada menjadi apoteker di sebuah apotek, mereka lebih memilih untuk memiliki sebuah apotek dengan mempekerjakan apoteker yang lain. Ini pula yang secara implisit diisyaratkan oleh banyak dosen di sekolah saya kepada para mahasiswanya. Jadilah peneliti, jadilah dosen, jadilah farmasis di industri, kalau mau cari penghasilan tambahan bukalah apotek. 

Berapakah gaji seorang fresh graduate sarjana farmasi? Kurang lebih 1 juta. Ya, saya serius. Angka Satu juta rupiah atau 6 buah angka nol di belakang sebuah angka 1. Bandingkan dengan teman-teman fresh graduate dari jurusan informatika di gedung tetangga yang gaji awalnya dapat mencapai 8-10 juta rupiah. Itulah sebabnya para sarjana farmasi  melanjutkan pendidikan mereka dengan program profesi apoteker untuk meningkatkan nilai jual (atau beli?) mereka.

Ketidakadilan sosial? Tentu bukan, ini karena kurangnya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap profesi apoteker atau farmasis. Yang disebut dengan profesi farmasis atau apoteker sendiri sebenarnya tidak terbatas kepada mbak-mbak atau mas-mas yang melayani Anda di apotek. Profesi farmasis dibagi ke dalam 4 bidang: farmasi industri, farmasi klinik, farmasi komunitas, farmasi regulatori. Keempat-empatnya memiliki spesifisitas tersendiri.

Bidang farmasi industri adalah lahan yang paling diminati oleh para sarjana farmasi pencari kerja. Sebagai farmasis yang bekerja di industri farmasi tentunya pekerjaan Anda relatif lebih menyenangkan, dengan tantangan-tantangan baru dalam bidang perkembangan formula berbagai sediaan, minuman dan makanan, riset terbaru dunia kesehatan, dan suasana kerja yang dinamis. Kompensasi berupa gaji pun relatif lebih besar dari ketiga bidang yang lain.

Yang paling membuat miris tentulah profesi apoteker, farmasis komunitas, sebab frase pertama yang terpikir oleh Anda saat mendengar kata-kata apoteker tentulah ‘tukang jual obat’. Itu tidak salah sama sekali. Namun yang salah adalah ketika ada profesi lain yang hendak menyerobot celah ini.

dikutip dari: http://astriddita.com/?p=9