25 Februari 2010

Generik "Rasa" Paten, What Should We Do ??

Barangkali istilah obat paten dan obat generik ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat umum, namun boleh jadi masih sedikit sekali yang mengerti dan memahami defenisi paten dan generik itu sendiri. Ketika seseorang ditanya apa yang ia ketahui tentang obat generik, mungkin jawaban yang paling mudah ia berikan adalah murah, tidak bermutu, kurang manjur atau obat kaum tak mampu. Sebaliknya jika ditanya tentang obat paten, mungkin yang langsung terlintas dalam pikirannya adalah mahal, kualitas tinggi, sangat manjur atau obatnya orang-orang punya duit. Benarkah sesungguhnya demikian ?

Bahwa obat generik lebih murah dari obat “paten”, Bahkan jauh lebih murah. Bahwa obat “paten” lebih mahal dari obat generik, Bahkan jauh lebih mahal. Tetapi, bahwa obat generik dikatakan kurang manjur sesungguhnya tidaklah sepenuhnya benar. Bahwa obat “paten” yang selama ini dimengerti masyarakat sebagaimana yang sering disebutkan oleh oknum dokter atau oknum rumah sakit, bukanlah merupakan obat paten yang sesungguhnya paten. Melainkan sejenis obat generik juga yang sudah di beri merek, atau biasa disebut obat bermerek. Namun harga obat bermerek bisa mencapai 200 kali lipat lebih mahal dari obat generik, padahal khasiatnya kurang lebih sama.

Obat generik adalah obat yang kandungannya adalah zat berkhasiatnya dengan nama yang sama persis dengan kandungannya. Misalnya obat yang kandungannya paracetamol, maka nama obatnya juga paracetamol. Dan harganya memang lebih murah.

Sementara obat bermerek adalah obat generik yang sudah diberi merek. Misalnya obat yang mengandung paracetamol kemudian diberi merek dagang Jayacetamona, atau ParaNex, dsb, yang kemudian di bagian bawah atau belakang kemasannya tertulis kandungan utamanya : Paracetamol. Harga obat bermerek ini lebih mahal dari obat generik, bahkan ada yang menjual sampai 200 kali lebih mahal dari harga obat generik.

Sedangkan obat paten, ialah obat (untuk penyakit tertentu) yang oleh produsennya dilakukan penelitian terlebih dahulu, kemudian melalui beberapa proses (termasuk pengujian) kemudian si produsen mematenkan obat tersebut. Biasanya status paten obat tersebut berlaku sampai 20 tahun, dan selama itu hanya produsen tsb yang berhak memproduksi dan memasarkan obat dimaksud. Dan setelah 20 tahun atau masa patennya habis, maka obat itu tidak lagi tergolong obat paten dan pihak lainpun dapat pula memproduksi obat yang sama. Ketika masa patennya habis, maka obat paten tsb jadi obat generic. Oleh produsen biasanya (mungkin) diberi merek, maka jadilah ia obat generik bermerek atau lebih umum disebut obat bermerek contoh obat paten ini misalnya obat untuk HIV/AIDS, flu burung dan penyakit khusus lainnya.

Masalahnya sekarang adalah, banyaknya oknum dokter dan atau oknum rumah sakit yang memberikan resep obat (generik) bermerek, tapi kepada pasien disebutkan obat paten. Karena ingin cepat sembuh dan percaya pada si oknum, ia lah pula kata si Fulan yang sesungguhnya tidak paham. Apalagi setelah tahu harganya selangit, makin yakinlah si Fulan bahwa itu obat paten. Apalagi jika si Fulan orang yang duitnya berlebih, tak pernah ada masalah dengan harga. Yang ada malah bangga, bahwa obatnya bukan sembarangan, bhawa obatnya adalah obat paten.

Tapi jelas akan jadi masalah jika terjadi pada si Polan yang tak punya uang, jangankan untuk menebus resep, untuk ongkos ke rumah sakitpun ia harus berhutang pada tetangga. Namun apa daya, karena si oknum bilang, “kalo pengen cepat sembuh, ya obatnya harus obat paten. Lagian, pingin sembuh masak obatnya murahan…”. Dengan segala daya upaya, tentu si Polan harus menebus resep yang diberikan.

Kalau demikian, patut dipertanyakan apakah obat yang selama ini diberikan dokter atau oknum dokter kepada pasien adalah obat paten dengan pengertian diatas tadi ?

Sekarang kita tinggal membuat asumsi, berapa banyak (persentase) orang yang berduit seperti si Fulan dan berapa banyak banyak (persentase) masyarakat yang bernasib seperti si Polan. Berapa banyak pasien yang terpaksa harus membeli obat yang diatas kemampuannya, padahal semua orang berhak mendapatkan obat generik. Entah ini masalahnya pada masyarakat yang tidak tahu, tidak mau tahu atau memang (sengaja) tidak diberitahu oleh yang semestinya memberi tahu.

Dari Berbagi Sumber

Baca Selanjutnya...

13 Februari 2010

Dimanakah Ghirroh Ke-Sayyid-anmu

Fikri duduk terdiam seorang diri di warung kopi di sebuah gang sempit. Pikirannya sedang kusut. Ia mengeluarkan kotak Marlboro dari kantongnya dan mulai merokok tanpa henti. Sudah dua jam ia duduk disitu. Batang rokoknya tinggal satu. Ia menyalakan rokok terakhirnya. “Kapan kita menikah?” suara Tasya masih terngiang di telinganya. Ia bukannya tidak ingin menikahinya. Dari segi fisik, mental, dan keuanganpun Fikri sudah siap untuk menikah. Satu-satunya masalah yg sedang dihadapinya adalah bagaimana mengatakannya pada orang tuanya. Dari dulu ia tahu Tasya yang keturunan indo-cina tidak akan bisa diterima di keluarganya.

“Engkau seorang sayid. Menikahlah dengan syarifah. Ini harapan abah dan umimu yang nggak bisa dikompromi. Cukuplah kakakmu saja yang ‘keluar dari rel-nya’.” Itu kata-kata abah yang masih segar di ingatannya saat kakaknya menikah dengan lelaki pribumi lima tahun yang lalu. Fikri membenamkan wajahnya ke meja. “Bagaimana ini Ya Allaah…” Ia tidak sampai hati menyakiti orangtuanya namun ia tidak ingin melepaskan Tasya, apalagi gadis itu sudah cinta mati dengan Fikri. “Cks…Tasya bisa nangis darah jika aku putuskan. Bahkan mungkin bunuh diri.” Setan mulai meracuni pikirannya. Fikri mulai berpikiran yang tidak-tidak. Kedua tangannya memegang kepalanya seakan-akan mau pecah.

“Hey, Kri!” Tiba-tiba ada yang menepuk bahu Fikri. “Bekher ente? Ada apa kok mukamu kusut gitu kayak orang stress?”

“Oh..Bang Ali..ana emang lagi banyak pikiran nih bib” jawab Fikri. Bang Ali adalah keponakan umi satu ayah tapi lain ibu. Ia tinggal di depan warung kopi bersama Kak Balqis istrinya, dan ketiga anaknya yang masih kecil.

Ada sedikit kelegaan di hati Fikri bertemu Bang Ali. Ia mempunyai pandangan yang luas dalam menilai sesuatu. Banyak orang yang minta pendapatnya saat mereka sedang dihadapi masalah. Seperti biasa, Fikri mulai menceritakan masalahnya dari awal hingga akhir.

“Fikrii..Fikri…” Bang Ali menggelengkan kepalanya. Sebelum berkata lebih lanjut ia memesan satu bungkus rokok dan secangkir kopi. Sambil memasukkan batang rokok ke mulutnya, ia berkata “Ente bahlol ya? Dulu bukannya udah dua kali ngadepin persoalan yang sama. Gak kapok-kapok ente? Cuma orang bahlol yang gak bisa ngambil pelajaran dari pengalamannya. Cape deeeh ”.

Bang Ali memang benar. Ini merupakan yang ketiga kalinya ia melakukan kesalahan yang sama. Yang pertama, ia bisa melepaskan Dewi dengan alasan masih kuliah. Yang kedua, ia memutuskan Sarah dengan alasan belom punya pekerjaan tetap. Sekarang, ia kehabisan akal bagaimana memutuskan Tasya. Dan lagi ia tidak berani memutuskan Tasya karena pada dasarnya ia lelah hidup membujang.

“Ente berani bermain api padahal ente tau betul nantinya kalau bukan Tasya yang terbakar, abah umi ente yang terbakar”. Mendengar itu Fikri terhenyak.

“Sekarang tinggal pilih deh. Tasya, atau orang tua yang ingin ente bahagiain. Coba, ente lebih sayang siapa? Mata Fikri mulai berkaca-kaca. Melihat itu Bang Ali langsung diam. Kasihan sekali ini anak pikirnya. Sebetulnya masih banyak yang ingin ia katakan tapi rupanya Fikri tidak siap mendengarnya. Ternyata, di balik tubuhnya yang gagah, hatinya sangat rapuh.

“Al afu Kri. Ana gak ada maksud untuk nyudutin ente. Ya udah gini aja. Ente coba ngomong baik-baik sama abah-umi. Kalau mereka tetep gak ridho ente nikah sama Tasya, ya udah putuskan ia secara baik-baik. Beri ia pengertian tentang keadaan ente yang sebenarnya. Memang bakal sakit rasanya Kri. Butuh waktu untuk bangkit kembali. Tapi dengan sabar dan do’a, mudah-mudahan ente dan Tasya masing-masing dapet jodoh yang cocok dan memuaskan. Sebaiknya masalah ini cepat diselesaikan Kri. Jangan berkhayal akan ada moment yang tepat untuk bicara. Sekaranglah saat yang tepat. Karena semakin ente ulur-ulur waktu, semakin besar harapan Tasya ke ente. Semakin besar pula harapan abah-umi ente untuk segera nikah dengan syarifah.” Fikri mengangguk, “Doain ana ya bib”.

Pintu rumah seberang warung terbuka. Kak Balqis muncul dari balik pintu. Sambil membetulkan kerudungnya, ia berjalan ke arah warung. “Abang! Gulanya mana? Ditungguin dari tadi ternyata nongkrong di sini.”

“Oh iya! Al afu abang lupa. Ada Fikri nih di sini.”
“Bekher Kri?”
“Bekher Alhamdulillah Kak.”

Balqis membeli gula dan duduk di sebelah Bang Ali. Ia melihat kotak rokok di atas meja. Sambil memberikan senyum yang sangat manis ke suaminya, “Udah ngisap berapa batang hari ini?”

“Baru tiga batang” jawab Bang Ali sambil membalas senyum istrinya.
“Cukup dulu ya” Kak Balqis menyita kotak rokok, “Rokok itu gak bagus buat pertumbuhan sperma.”

Mendengar itu Bang Ali tertawa terbahak-bahak. Biasanya kata-kata umum yang sering diucap oleh wanita adalah “Rokok tidak bagus buat jantung” atau “Rokok tidak bagus buat paru-paru”. Ali selalu tertawa setiap kali mendengar komentar istrinya yang luar biasa. Baginya, segala perkataan dan kelakuan istrinya dianggap lucu dan menggemaskan.

“Hebat betul pasangan ini” pikir Fikri. Sudah 7 tahun mereka menikah tapi gelagatnya masih seperti pengantin baru. Padahal Kak Balqis berasal dari keluarga yang sangat kaya dan Ali berasal dari keluarga yang bisa dikatakan berada di bawah standar. Fikri melihat sendiri bagaimana perjuangan mereka untuk bersatu. Bang Ali banting tulang setiap hari untuk membangun bisnis kecil-kecilan. Kak Balqis dengan sabarnya menunggu sampai Bang Ali berhasil mengontrak rumah mungil di gang sempit ini.

Setelah menikah, mereka masih diberi ujian. Dengan penghasilan yang sangat kecil, Kak Balqis dengan sekuat tenaga beradaptasi untuk dapat hidup serba pas-pasan. Bang Ali pun bersabar atas masakan istrinya yang terkadang terlalu asin atau terlalu manis. Maklumlah, sangking kayanya, Kak Balqis dulu jarang sekali masuk dapur. Butuh waktu 6 bulan untuk bisa memasak sayur asem dengan rasa selayaknya sayur asem. Tapi sekarang Masya Allah… ia bisa masak macam-macam bahkan mahir membuat kue. Dan dua tahun belakangan ini bisnis Bang Ali mulai menunjukkan titik terang. Ia mempunyai 4 toko. Toko buku dan optik berada di bawah manajemennya dan 2 toko lainnya, toko kue dan batik pekalongan, ia biarkan Kak Balqis yang mengurusnya. Mereka dianugerahi dua anak kembar Hasan dan Husein, berusia 6 tahun, dan Aisyah, berusia 3 tahun. Bulan depan mereka akan pindah ke rumah yang lebih besar. Pasangan ini betul-betul saling melengkapi. Subhanallah… inikah yang disebut sebagai keluarga yang sakinah, ma waddah, wa rohmah?

“Fikri kok nongkrong di sini aja? Kenapa gak mampir ke rumah? Udah sombong ni yaah..” ujar Kak Balqis.
“Gak kok Kak. Cuma pikiran lagi kusut aja sekarang.”
“Loh, kenapa Kri?”
Bang Alipun menceritakan masalah Fikri ke istrinya.

Kak Balqis menghela nafas. “Biasa tu.. masalah klasik sayid dan syarifah. Cobaan para sayid jaman sekarang ini, di mata mereka, yang non-syarifah itu lebih menggairahkan, lebih terbuka, lebih agresif, dan sangat nyaman dijadikan pacar. Dan cobaan para syarifah itu, non-sayid itu lebih sabar, tidak tempramen, lebih berpendidikan, lebih mapan, lebih manis kata-katanya, lebih pengertian, hingga lebih nyaman dijadikan tempat berlindung.”

Kak Balqis menatap Fikri dengan tajam. “Menurut kamu pribadi nih Kri, seorang syarifah harus nikah dengan sayid gak?”
“Iya, harus” jawab Fikri.
“Kalau sayid?”
“Tidak harus”
“Kenapa begitu?” lanjut Kak Balqis.

Entah apa yang di pikiran Kak Balqis menanyakan sesuatu yang ia sudah tahu jawabannya, namun Fikri tetap menjawab.
“Karena laki-laki yang membawa keturunan, nggak masalah siapa yang dinikahinya.”
“Nggak masalah ya…” Kak Balqis menahan emosi.
“Iya”
“Kau ini punya pendirian gak sih?” tanya Kak Balqis agak meninggi. Fikri tersentak.
“Kau meyakini syarifah harus nikah dengan sayid tapi nggak sebaliknya, padahal kau tau di dunia ini jumlah syarifahnya lebih banyak dari sayid. Jadi, setiap sayid yang menikah dengan non-syarifah artinya ia telah mengorbankan satu syarifah. Daripada mereka menikah dengan non-sayid, kau lebih senang mereka mati perawan? Mana tanggung jawabmu sebagai seorang sayid? Apa ghirroh kesayyidanmu sudah padam?”

Wajah Fikri langsung memerah karena malu.
“Kalau kau masih juga mau menikah dengan Tasya, ahsan buang saja gelar sayidmu itu ke tong sampah. Gak usah yahanu bersyukur dilahirkan sebagai sayid deh”
Kali ini Fikri rasanya seperti ditampar. Kata-kata itu sungguh menyakitkan. Ia menahan sekuat tenaga agar air matanya tidak mengalir.

“Pah…cukup.” Bang Ali menegur istrinya. Kak Balqis langsung diam, namun matanya masih menatap Fikri dengan tajam. Wajar saja ia emosi. Ia punya banyak adik perempuan, keponakan, misan dan saudara perempuan yang belum menikah padahal sudah cukup umur. Hatinya jadi tambah khawatir memikirkan bagaimana nasib anak perempuannya kelak padahal saat ini umur Aisyah baru 3 tahun. Belom apa-apa sudah jadi beban pikiran..

“Kri..” Bang Ali bertanya “Ente tau kenapa abah ente keras sekali mengharuskan semua anaknya, yang laki-laki maupun perempuan, untuk nikah sekufu?” Fikri tidak menjawab.
“Sebetulnya itu merupakan salah satu wujud kecintaan abah ente terhadap Baginda Muhammad SAW”. Fikri tertegun.
“Tau gak, saat kakak ente nikah dengan non-sayid, abah ente nangis tiap malam sampai berhari-hari. Watak abah ente sangat keras tapi sebetulnya hatinya sangat lembut. Ntar, kalo ente udah punya anak, barulah ente bisa ngerasa betapa lembutnya hati seorang ayah.”

Fikri menunduk. Tenggorakannya terasa perih.
“Kakak kenalin dengan syarifah mau gak Kri? Ada banyak stok nih”, ucap Kak Balqis serius.
“Siapa Pah?” tanya Bang Ali.
“Ada Nasywa, Sabina, Cici, Mona, Rugaya, banyak deh”.
“Wah… ana udah kenal mereka, tapi jarang ngobrol sih..” ucap Fikri.
“Terus? Belom ada yang menarik hati? Ntar kakak carikan yang lain deh” ujar Kak Balqis meyakinkan.
“Bukan… mereka terlalu tinggi buat ana.”
“Terlalu tinggi gimana?” tanya Bang Ali penasaran.
“Nasywa terlalu pintar. Ia sudah S2 sedangkan ana cuma S1. Sabina terlalu baik, sedangkan ana bandel dan sembrono. Lalu..Rugaya dari keluarga yang kaya dan terpandang….”
Bang Ali dan Kak Balqis saling memandang. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.

“Ya Allaaahhhh Fikriiiiii” keluh Bang Ali. “Pengecut kali ente! Belom apa-apa udah minder duluan. Masa ama harim takut? Ente rejal bukan sih? Coba ente kenalan dulu lebih mendalam. Siapa tau mereka bisa nerima ente apa adanya. Jangan menyerah dulu sebelum berperang”. Bang Ali merangkul istrinya dan berkata ke Fikri “Ente gak liat nih contoh konkrit?” Kak Balqis tersenyum. “Harim ana ini bisa terima ana apa adanya padahal dulu ana kere-nya luar biasa.”

Fikri tersenyum. Ada sedikit rasa iri melihat kemesraan mereka. Ia ingin sekali bisa seperti itu kelak.
Pintu di seberang warung kembali terbuka. Kali ini si kembar yang keluar.
“Abah!” teriak Husein.
“Lebaik!”
“Ayo, katanya mau maen bola!” sahut Hasan.
“Ayo! Balas ayahnya. “Abah ambil bola dulu ya?” Sambil bangun dari tempat duduknya, Bang Ali bilang “Kri, ke rumah ana dulu sebentar”.

Bang Ali menyerahkan 3 buku ke Fikri. “Baca ini dulu Kri” sambil menunjuk buku tentang sejarah Nabi Muhammad SAW. “Dijamin kecintaan terhadap Rasulullah akan bertambah bagi siapa saja yang membacanya insya Allah. Dibaca ulang terus juga ente gak akan bosan.”

Buku lainnya yang diterima Fikri adalah kumpulan doa-doa, wirid, ratib, dan maulud. Dan satu lagi tentang biografi seorang habib zaman dahulu yang terkenal beserta ajaran dan kata-kata mutiaranya.
Saat Fikri pamit, Bang Ali berkata, “Besok ikut ana hadir maulid. Setelah itu kita keliling ziarah dan silaturrahmi ke habib-habib yang dituakan. Mudah-mudahan dengan begini ente kembali ke ajaran salaf.

Sambil berjalan menuju rumahnya, Fikri kembali mencerna kata-kata Bang Ali dan Kak Balqis. Kali ini ia biarkan air matanya yang sejak tadi ditahan sekuat tenaga mengalir deras di pipinya. Air matanya terasa panas. Fikri bertanya pada dirinya sendiri, “Apa benar semangat kesayyidanku telah padam?” Ia jadi merinding dan ketakutan. Kedua tangannya mengusap wajahnya dan menarik nafas dalam-dalam. “Besok aku akan ikut Bang Ali”, tekadnya.

Oleh: Syarifah Intan Agil Al-Attas
Baca Selanjutnya...

11 Februari 2010

Negeri Para Bedebah

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

Karya: Adhie Massardi
Baca Selanjutnya...

8 Februari 2010

Gelar Pahlawan Di Indonesia Tergantung Permintaan Pasar ( ? )

Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Sebuah nama yang kini dikenang setelah ditinggalkan pemiliknya adalah Abdurrahman Wahid. Terhadap nama pendiri Partai Kebangkitan Bangsa ini, kini muncul kehebohan baru. Setelah kesedihan mendalam yang ditimbulkan karena kematiannya, nama Abdurrahman Wahid sekarang menjadi perdebatan luas sekitar keinginan untuk memberinya gelar pahlawan nasional. Gelar yang penganugerahannya sepenuhnya ada di tangan pemerintah atau negara.

Sebelum negara menolak atau mengukuhkan gelar pahlawan bagi Gus Dur sapaan akrab Abdurrahman Wahid, publik sesungguhnya telah menghormatinya dengan gelar guru bangsa serta bapak pluralisme. Beberapa kalangan malah menyebutnya bapak demokrasi. Sebuah gelar, apalagi gelar pahlawan, diberikan kepada seseorang karena ada unsur extraordinary dari pikiran maupun perbuatan seseorang yang menimbulkan dampak luar biasa bagi kemanusiaan. Karena luar biasa maka prestasinya nyata tidak bisa ditutup-tutupi. Karena prestasi dan karyanya luar biasa dan kasatmata.

Undang-undang telah mengatur soal gelar dengan jelas. Ada kriteria dan ada Dewan Gelar. Kalau berpegang dari kenyataan ini, sesungguhnya tidak beralasan untuk ribut-ribut soal pantas atau tidaknya Gus Dur dianugerahi gelar pahlawan nasional. Keributan terjadi dan inilah penyakit politik di Indonesia adalah memolitisasi perkara yang sesungguhnya telah terang benderang dan tidak memerlukan komplikasi. Karena politisasi maka gelar pahlawan Gus Dur sekarang ini menjadi bahan dagang sapi. Golkar, misalnya, mau mendukung Gus Dur sebagai pahlawan asal Pak Harto juga dianugerahi gelar yang sama.

Gelar sekarang cenderung menjadi adu pasar politik. Sebuah gelar diberikan tergantung seberapa kuat desakan politik. Maka penggalangan dukungan dikerahkan dengan berbagai cara. Ini menyalahi aspek kejujuran dari sebuah gelar. Kalau Dewan Gelar bekerja atas kriteria yang telah ditetapkan, sesungguhnya tidak perlu diributkan apakah Gus Dur pantas mendapatkannya atau tidak. Gus Dur, dengan segala kekurangannya, telah memberi kontribusi luar biasa bagi terciptanya ruang demokrasi di negeri ini. Adalah berbahaya ketika Dewan Gelar atau negara mendasarkan pemberian gelar pada mekanisme pasar politik. Siapa yang memperoleh dukungan paling banyak, dialah yang mendapatkan gelar.

Ini berbahaya karena akan muncul mobilisasi liar yang memaksakan kehendak. Bisa-bisa setiap kampung, setiap keluarga, memobilisasi dukungan untuk memperoleh gelar dari negara bagi kakek neneknya. Maka gelar hanya akan menjadi barang murahan.

Indonesia oh Indonesia....

Baca Selanjutnya...

7 Februari 2010

Hati-hati Dengan Valentine-mu

Banyak kalangan pasti sudah mengenal hari valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day). Hari tersebut dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, hari tersebut memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya. Sehingga valentine’s day biasa disebut pula dengan hari kasih sayang.

Cikal Bakal Hari Valentine
Sebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul Valentine’s Day. Namun, pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan dijadikan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Book Encyclopedia 1998).

Kaitan Hari Kasih Sayang dengan Valentine
The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” yang dimaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan Tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (The World Book Encyclopedia, 1998).

Versi lainnya menceritakan bahwa sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati sebagai pahlawan karena memperjuangkan kepercayaan), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu”. (Sumber pembahasan di atas: http://id.wikipedia.org/ dan lain-lain)

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:
  • Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.
  • Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.
  • Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.
  • Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.
Sungguh ironis memang kondisi umat Islam saat ini. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui kenyataan sejarah di atas. Seolah-olah mereka menutup mata dan menyatakan boleh-boleh saja merayakan hari valentine yang cikal bakal sebenarnya adalah ritual paganisme. Sudah sepatutnya kaum muslimin berpikir, tidak sepantasnya mereka merayakan hari tersebut setelah jelas-jelas nyata bahwa ritual valentine adalah ritual non muslim bahkan bermula dari ritual paganisme.

Selanjutnya kita akan melihat berbagai kemudharatan yang ada di hari Valentine.
1. Merayakan Valentine Berarti Meniru-niru Orang Kafir
Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql, terbitan Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ
“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mau merubah uban, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103) Hadits ini menunjukkan kepada kita agar menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani secara umum dan di antara bentuk menyelisihi mereka adalah dalam masalah uban. (Iqtidho’, 1/185)

Dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan secara umum supaya kita tidak meniru-niru orang kafir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman dalam Irwa’ul Gholilno. 1269). Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.

2. Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman
Allah Ta’ala sendiri telah mencirikan sifat orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri ritual atau perayaan orang-orang musyrik dan ini berarti tidak boleh umat Islam merayakan perayaan agama lain semacam valentine. Semoga ayat berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72)

Ibnul Jauziy dalam Zaadul Maysir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.

Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’, 1/483). Jadi, merayakan Valentine’s Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.

3. Mengagungkan Sang Pejuang Cinta Akan Berkumpul Bersamanya di Hari Kiamat Nanti
Jika orang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keutamaan berikut ini.
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَتَّى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
“Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
مَا أَعْدَدْتَ لَهَا
“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”

Orang tersebut menjawab,
مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلاَةٍ وَلاَ صَوْمٍ وَلاَ صَدَقَةٍ ، وَلَكِنِّى أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan,
فَمَا فَرِحْنَا بِشَىْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ » . قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ
“Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”

Anas pun mengatakan,
فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ
“Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”

Bandingkan, bagaimana jika yang dicintai dan diagungkan adalah seorang tokoh Nashrani yang dianggap sebagai pembela dan pejuang cinta di saat raja melarang menikahkan para pemuda. Valentine-lah sebagai pahlawan dan pejuang ketika itu. Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Kalau begitu engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”. Jika Anda seorang muslim, manakah yang Anda pilih, dikumpulkan bersama orang-orang sholeh ataukah bersama tokoh Nashrani yang jelas-jelas kafir?

Siapa yang mau dikumpulkan di hari kiamat bersama dengan orang-orang kafir[?] Semoga menjadi bahan renungan bagi Anda, wahai para pengagum Valentine!

4. Ucapan Selamat Berakibat Terjerumus Dalam Kesyirikan dan Maksiat
“Valentine” sebenarnya berasal dari bahasa Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. (Dari berbagai sumber)

Oleh karena itu disadari atau tidak, jika kita meminta orang menjadi “To be my valentine (Jadilah valentineku)”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala.

Telah dikemukakan pula di awal bahwa hari valentine jelas-jelas adalah perayaan nashrani, bahkan semula adalah ritual paganisme. Oleh karena itu, mengucapkan selamat hari kasih sayang atau ucapan selamat dalam hari raya orang kafir lainnya adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah (1/441, Asy Syamilah). Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau selamat hari valentine, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.”

5. Hari Kasih Sayang Menjadi Hari Semangat Berzina
Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.

Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang. Na’udzu billah min dzalik.

Padahal mendekati zina saja haram, apalagi melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)

Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.

6. Meniru Perbuatan Setan
Menjelang hari Valentine-lah berbagai ragam coklat, bunga, hadiah, kado dan souvenir laku keras. Berapa banyak duit yang dihambur-hamburkan ketika itu. Padahal sebenarnya harta tersebut masih bisa dibelanjakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat atau malah bisa disedekahkan pada orang yang membutuhkan agar berbuah pahala. Namun, hawa nafsu berkehendak lain. Perbuatan setan lebih senang untuk diikuti daripada hal lainnya. Itulah pemborosan yang dilakukan ketika itu mungkin bisa bermilyar-milyar rupiah dihabiskan ketika itu oleh seluruh penduduk Indonesia, hanya demi merayakan hari Valentine.

Tidakkah mereka memperhatikan firman Allah,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27). Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)

Itulah sebagian kerusakan/kemudharatan yang ada di hari valentine, mulai dari paganisme, kesyirikan, ritual Nashrani, perzinaan dan pemborosan. Sebenarnya, cinta dan kasih sayang yang diagung-agungkan di hari tersebut adalah sesuatu yang semu yang akan merusak akhlak dan norma-norma agama. Perlu diketahui pula bahwa Valentine’s Day bukan hanya diingkari oleh pemuka Islam melainkan juga oleh agama lainnya. Sebagaimana berita yang saya peroleh dari internet bahwa hari Valentine juga diingkari di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Alasannya, karena hari valentine dapat merusak tatanan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat. saya katakan: “Hanya orang yang tertutup hatinya dan mempertuhankan hawa nafsu saja yang enggan menerima kebenaran.”

Oleh karena itu, saya ingatkan agar kaum muslimin tidak ikut-ikutan merayakan hari Valentine, tidak boleh mengucapkan selamat hari Valentine, juga tidak boleh membantu menyemarakkan acara ini dengan jual beli, mengirim kartu, mencetak, dan mensponsori acara tersebut karena ini termasuk tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan. Ingatlah, Setiap orang haruslah takut pada kemurkaan Allah Ta’ala.
"Hati-hati dengan Valentine-mu"
Dari berbagai sumber.

Baca Selanjutnya...